Rabu, 10 Desember 2008

Kelaparan, akibat kapitalisme


FAO: Tahun ini jumlah orang kelaparan di dunia meningkat menjadi 963 juta jiwa (Al Jazeera, 09/12/2008). Sungguh data yang sangat memilukan. 963 juta jiwa bukanlah angka yang kecil. Apa penyebabnya?
Bisa jadi karena distribusi pangan yang tidak merata. Banyak diantara kaum muslim yang kelebihan makanan dan berganti-ganti menu makan di restauran, tapi lebih banyak diantara kaum muslim yang kelaparan. Penyebab lain, daya beli masyarakat yang rendah. ini karena tidak punya penghasilan, dan negara tidak memberi jaminan. Sehingga untuk mereka tidak mampu membeli bahan makanan. Atau karena individualisme masyarakat sangat tinggi, sehingga tak memperdulikan orang lain yang membutuhkan makan.
Banyak lagi faktor lain yang menyebabkan kelaparan. Dari sekian banyak faktor tadi, bisa disimpulkan, penyebabnya adalah karena penerapan sistem kapitalisme. Kok bisa?
Mari kita telaah bersama. Sistem kapitalisme dengan berbagai turunannya seperti individualisme, liberalisme, demokrasi berawal dari sekulerisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Artinya, Allah SWT sebagai pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan ini (menurut sekulerisme) dilarang turut campur dalam mengatur kehidupan manusia. Dalam berbagai literatur disebutkan, sekulerisme berawal dari beralihnya pemusatan pemikiran dari gereja, karena salah berteori tentang kehidupan.
Karena menafikkan Allah sebagai pengatur kehidupan, para kapitalis (pemilik modal) yang akhirnya mengambil peran. Dengan modal yang mereka miliki, mereka membuat aturan kehidupan yang tentu saja menguntungkan diri sendiri. Karena sifatnya sangat jelas, individualis (mementingkan diri sendiri) dan liberal (bebas). Sehingga wajar dalam sistem ini menimbulkan banyak distorsi (penyimpangan) yang mengakibatkan berbagai permasalahan. Kelaparan diantaranya.
Selain itu, negara tidak lagi mau ikut campur mengurusi masalah rakyat. Karena dalam sistem kapitalis, negara tidak lebih hanya fasilitator, dan melepas tanggung jawabnya sebagai pengurus masalah umat.
Berbeda dengan sistem Islam. Seorang kholifah wajib bertanggung jawab mengurusi masalah umat. Kita tahu bagaimana kholifah Umar Bin Khoththob yang memanggul sendiri gandum, memasakkan dan menghidangkannya kepada seorang ibu dan anak2nya yang kelaparan. Dalam syariah (yang dituntun dengan aturan Allah), seorang pemimpin umat wajib memastikan setiap orang di negerinya bisa makan, tercukupi sandang, pangan dan papan. Jika ia lalai maka dianggap tidak capable mengurus masalah umat.
Negara juga berkewajiban memberikan lapangan kerja yang seluas-luasnya supaya rakyat bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan mampu memenuhi kehidupan sehari-hari keluarganya. Fasilitasi negara adalah dalam pendidikan dan kesehatan, yang harus tersedia dengan gratis dan cukup.
Selain itu dalam Islam, diwajibkan seseorang memenuhi hak tetangganya. Jika ia lali pada urusan tetangganya atau membiarkan tetangganya dalam kesusahan (atau besikap individualis) maka ia mendapatkan dosa.
Inilah aturan Islam. Yang menjamin, tidak boleh ada penduduk kelaparan. Karena aturan ini bersumber pada pemilik alam semesta, Allah SWT.
Jadi satu-satunya solusi untuk mengatasi kelaparan adalah, kembali kepada syariah Islam. Tetapi, syariah tidak bisa ditegakkan secara sempurna tanpa sebuah sistem yang menaungi, yakni Khilafah. Jadi perjuangkan syariah dan khilafah!

Jumat, 05 Desember 2008

Tsunami Itu Datang Lebih Cepat


"Tsunami itu datang lebih cepat dari yang kita perkirakan," kata seorang ahli ekonomi FE Universitas Airlangga kemarin (5/12). Ia mengatakan itu pada saya sambil tertunduk lesu. Tsunami yang ia maksud bukan badai raksasa seperti yang memporakporandakan Aceh 2004 lalu, tapi daya rusak dan luasan gelombangnya jauh lebih dahsyat. Tsunami yang menciptakan krisis ekonomi global di seluruh dunia.
Ahli ekonomi yang sudah bergelar doktor ini menyebutkan, dampak krisis keuangan global (yang membuat Amerika sekarat dan sulit pulih sampai sekarang) sampai lebih cepat di Indonesia. Padahal para ahli ekonomi memprediksi, dampak krisis baru akan terasa tahun 2009. Tapi ternyata, sekarang resesi ekonomi itu sudah di depan mata.
Ada indikasi resesi ekonomi yang terjadi. Pertama, tingkat inflasi turun drastis. Dibandingkan kenaikan inflasi yang tinggi, penurunan inflasi jauh lebih berbahaya. Karena penurunan inflasi mengindikasikan permintaan turun, karena daya beli turun. Jika daya beli masyarakat turun, produksi berkurang. Disinilah dimulai stagnasi ekonomi. Indikasi kedua, PHK massal yang terjadi akhir tahun ini sudah mencapai ratusan ribu buruh. Dampaknya terjadi pembengkakan angka pengangguran, dan masalah2 sosial lainnya.
Well.. inilah saatnya kapitalisme diambang kematian. Ketika kapitalisme telah hancur, siapa sistem penggantinya? Memang perubahan harus dilakukan secara fundamental. Sistem ini harus berubah. Perubahan itu sebenarnya sudah mulai tampak. Eropa bahkan sekarang mulai mengkaji perubahan sistem kapitalisme pada syariah. Demikian juga Hongkong. Kapan Indonesia? Masih berharap pada kapitalisme yang sebentar lagi menjemput ajalnya?
Sooner or later, kapitalisme, sistem yang kufur ini akan tergilas oleh kerakusannya sendiri. Sistem bikinan manusia yang lemah dan rapuh ini sudah tak mampu lagi berkuasa. Penerapan sistem ini sudah meberi dampak buruk dan justru menjauhkan rakyat dari kesejahteraan.
Hanya ekonomi syariah yang mampu bertahan dalam krisis apapun. Selama 13 abad, sistem ekonomi syariah tidak tergoyahkan. Tentu saja ini bisa terjadi, karena sistem ekonomi syariah dirancang oleh Dzat Yang Maha Mensejahterakan Manusia, Allah SWT.
Tapi perlu diingat, sistem ekonomi syariah hanya satu dari bagian persoalan yang tercakup dalam masalah politik. Kalau sistem ekonominya mau berubah, sistem politiknya pun harus berubah. Karena tidak ada yg bisa menerapkan sistem ekonomi syariah secara sempurna jika tidak dalam naungan khilafah (pemerintahan) Islam. Jadi, lebih urgent saat ini, memperjuangkan khilafah yang akan menerapkan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan.

Senin, 24 November 2008

Pupuk Langka Petani Menjerit... Ah itu biasa!


Pupuk Langka Petani Menjerit... Ah itu biasa!
Maksudnya, petani biasa menjeriiiiit karna pupuk langka. Kalau pun sekarang menjerit, itu bukan yg pertama. Bahkan kali ini jeritan petani leboh parah...

Berdasarkan pengamatan, terdapat beberapa faktor penyebab kelangkaan pupuk yang terjadi selama ini. Dua faktor di antaranya adalah (1) Turunnya produksi pupuk akibat kelangkaan pasokan gas, dan (2) Terjadinya penyimpangan distribusi akibat adanya disparitas harga pupuk urea.

Terkait masalah pertama, yaitu kelangkaan pupuk akibat kelangkaan pasokan gas pada industri pupuk, hal ini sangatlah ironis. Pasalnya, gas yang merupakan bahan baku utama pupuk urea, sesungguhnya tersedia dalam jumlah yang sangat melimbah di bumi Indonesia. Bahkan Indonesia termasuk negara produsen gas terbesar di dunia. Namun nyatanya hal ini memang terjadi.

Pada tahun 1970-an, Indonesia memiliki pabrik pupuk PT. Asean Aceh Fertilizer (AAF) di Aceh. Pabrik pupuk tersebut merupakan salah satu kebanggan bangsa Indonesia, yang menjadi “simbol kemandirian” pertanian Indonesia. Namun apa dikata, pada tahun 2000, pabrik pupuk ini terpaksa dilikuidasi karena tidak mendapatkan pasokan gas, setelah PT. Exxon Mobil Oil –perusahaan minyak dari AS– tidak lagi mau menyupli gas. Nasib yang sama juga menimpa PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) II. Selama satu tahun, pabrik pupuk ini tidak beroperasi. Baru mulai beroperasi kembali sekitar pertengah April 2006, setelah mendapatkan pasokan gas dari Exxon Mobil Oil, itu pun hanya sampai Oktober 2006 saja. Sedangkan untuk PIM I, sampai Oktober 2006 tidak mendapat kontrak mengenai pasokan gas, sehingga pabrik tersebut tidak beroperasi.

Pasokan gas ke PT. Pupuk Kujang 1B juga belum ada kepastian. Pabrik Kujang 1B yang baru saja diresmikan Presiden SBY, pada April 2006, ternyata hanya memiliki kontrak pasokan gas selama tiga tahun, yakni 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2006.

Semua ini terjadi bukan karena jumlah produksi gas tidak mencukupi kebutuhan; melainkan, produksi gas yang ada lebih banyak dialokasikan untuk memenuhi kontrak pembelian dari luar negeri, terutama Jepang dan Korea. Alasannya karena harga gas di luar negeri jauh lebih tinggi dibanding dalam negeri.

Di luar negeri harga gas mencapai US$ 9,15 per mmBtu, sedangkan harga gas untuk pabrik pupuk hanya sekitar US$ 2-3,2 per mmBtu. Parahnya lagi, sikap demikian ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan swasta seperti PT. Exxon Mobil Oil, tetapi juga dilakukan oleh Pertamina, yang notabene merupakan perusahaan milik negara. Akibatnya kepentingan dalam negeri justru terabaikan, hanya untuk mengejar keuntungan yang belum tentu secara efektif masuk ke kas negara.

Ini semua terjadi akibat pengelolaan sektor pertambangan, termasuk gas, yang didasarkan pada prinsip liberal-kapitalistik. Dengan prinsip ini, pemerintah memposisikan diri seolah sebagai penjual, sementara rakyat diposisikan sebegai pembeli. Pemerintah juga memposisikan diri seolah sebagai pemilik tambang, yang punya otoritas untuk memberikan hak penguasaan tambang kepada swasta, baik dalam negeri maupun asing. Dengan prinsip seperti ini, kepentingan dan hak-hak rakyat untuk mendapatkan manfaat dari hasil tambang sudah pasti akan terabaikan.

Dalam pandangan Islam, barang tambang termasuk gas, jika diketahui jumlahnya sangat besar, statusnya adalah sebagai milik umum. Adapun posisi pemerintah hanyalah sebagai wakil umat dalam pengelolaan sektor pertambangan tersebut. Jadi, pemerintah lah yang harus mengelola tambang tersebut dan memberikan hasil/keuntungannya kepada rakyat.

Dalam hal ini, pemerintah dilarang mengkomersialkan hasil tambang tersebut kepada rakyatnya. Kalaulah pemerintah membutuhkan biaya untuk mengelola tambang sehingga hasilnya terpaksa harus dijual, maka harga jualnya harus ditekan serendah mungkin, sebatas cukup untuk menutupi biaya operasionalnya. Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Ibn Abbas:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإَِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ»

Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, padang dan api. Harganya pun haram. (HR Ibn Majah).

Kata “api” dalam hadits ini dapat dimaknai sumber energi, termasuk gas, yang juga bisa dijadikan sebagai bahan baku pupuk urea.

Selain itu, pemerintah juga tidak boleh memberikan hak penguasaan tambang kepada pihak swasta. Sebab, memberikan hak penguasaan tambang kepada swasta, berarti telah melakukan perubahan status kepemilikan atas tambang tersebut dari milik umum ke milik pribadi (swasta). Selain itu, jika dikuasai swasta, orientasi pengelolaannya akan bersifat komersial. Akibatnya, rakyat secara bersama-sama tidak akan bisa mendapatkan manfaatnya.

Demikianlah konsep Islam dalam pengelolaan barang tambang, termasuk gas. Dengan sistem pengelolaan seperti ini tentu permasalahan kelangkaan pasokan gas untuk industri pupuk tidak akan terjadi. Dalam hal ini, tidak berarti pemerintah dilarang menjual gas ke luar negeri. Penjualan gas ke luar negeri boleh dilakukan pemerintah, selama kebutuhan gas dalam negeri sudah tercukupi. Jika belum, maka ke butuhan dalam negeri harus diprioritaskan.

Adapun masalah kedua, yaitu kelangkaan pupuk akibat disparitas harga, hal ini terjadi karena di Indonesia diberlakukan dua harga pupuk, yaitu pupuk subsidi untuk petani dan pupuk non subsidi untuk perusahaan perkebunan dan industri. Saat ini pemerintah menetapkan HET (harga eceran tertinggi) untuk pupuk urea bersubsidi sebesar Rp. 1200/kg. Sedangkan harga pupuk non subsidi berkisar antara Rp. 1600 – Rp. 2000 per kilogram. Disparitas harga ini mendorong oknum-oknum distributor dan pedagang pupuk yang ingin meraup keuntungan sepihak melakukan kecurangan dengan menjual pupuk subsidi ke perusahaan perkebunan dan industri. Akibatnya petani kecil justru tidak kebagian pupuk bersubsidi.

Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya disparitas harga pupuk antara di dalam negeri dan di luar negeri. Saat ini harga pupuk di luar negeri mencapai US$ 500/ton, atau sekitar Rp. 5500/kg. Peluang ini dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk menyelundupkan pupuk ke luar negeri.

Dalam pandangan Islam, kebijakan menjual pupuk dengan dua harga, yaitu harga subsidi dan non subsidi, tidak seharusnya dilakukan. Negara justru wajib mengupayakan ketersediaan pupuk dengan harga yang murah. Sebab, pupuk merupakan kebutuhan vital yang diperlukan untuk menunjang sektor pertanian. Di mana pertanian merupakan sektor yang menentukan ketersediaan pangan dan sandang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Jika harga pupuk murah, harga pangan dan sandang pun diharapkan bisa menjadi murah. Dengan cara ini, negara bisa menyediakan kebutuhan pangan dan sandang bagi rakyatnya dengan harga yang murah.

Selain itu, gas yang merupakan bahan baku pupuk urea, merupakan produk tambang yang tidak boleh dikomersialkan oleh negara. Sebab, gas termasuk milik umum yang wajib dikelola negara dan dikembalikan hasil dan manfaatnya kepada rakyat. Jadi, jika pabrik pupuk bisa memperoleh gas dengan harga murah atau bahkan gratis, tentu tidak layak ada pupuk yang dijual dengan harga lebih mahal (non subsidi). Dengan cara inilah, masalah disparitas harga pupuk di dalam negeri dapat diatasi, sehingga kelangkaan pupuk akibat disparitas harga dapat dicegah.

Adapun adanya disparitas harga dengan pasar pupuk di luar negeri, yang berpeluang menyebabkan terjadinya penyelundupan, maka hal ini bisa diatasi dengan pengawasan yang ketat oleh negara. Ini hanya masalah teknis, yang tidak sulit untuk diatasi jika negara benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik.

Demikianlah, syariah Islam benar-benar dapat memberikan solusi atas problem-problem kehidupan yang tidak mampu dipecahkan oleh sistem kapitalis. Karena itu, jika umat ini ingin menggapai kehidupan yang lebih baik dan diridloi oleh Allah SWT, tidak ada cara lain kecuali dengan mewujudkan tegaknya syariah di bawah naungan Khilafah.

Antara DPD RI dan laut asin


Kenapa ikan di laut badannya tidak ikut asin. bukankah kita juga bisa? tidak ikut "asin" dalam dunia yang "asin" ini...

Sy baca kalimat ini dari beranda facebook teman sy. Kebetulan sekarang dia lagi getol2nya kampanye biar lolos jadi anggota DPD RI dari Jatim.

Sy pun memberi komentar : "Trus... mo jadi anggota DPD apa jadi ikan asin??"

Hehehe...

Sebenarnya komentar sy bukan untuk melucu tapi asli serius!

1. Kalimat yg dibuat temen sy tuh juga aneh. Masa manusia disamakan dengan ikan. Kehidupan manusia disamakan dengan kehidupan laut yg asin. Tuh emang ga logis blas! Secara logika aja nih, kenapa ikan di laut ga asin, karena ikan mempunyai daya proteksi dalam tubuhnya sehingga mampu menetralisir asin air laut. Sehingga ikan laut tidak asin. Kalau ikan laut jadi asin, tandanya dia sudah mati karena tidak mampu memproteksi dirinya sehingga "tercemari" asinnya air laut.

2. Sy tau logika apa yg sedang dipikirkan oleh teman sy ini. Menurut dia, ketika seseorang memiliki daya proteksi terhadap diri sendiri, maka segala apapun yg dihadapi tidak akan mempengaruhi idealismenya. Secara... teman sy ini calon anggota DPD RI yang tampangnya ada di beberapa baliho dan selebaran yg disebar di pinggir2 jalan. Dia merasa yakin, nyemplung di dunia yang asin (penuh persoalan) tidak akan mempengaruhinya karena ia sudah imun dari hal-hal negatif... hmmm apa iya? Sekarang, belum jadi anggota DPD RI bisa ngomong begitu. Tapi kalo sudah jadi, apa masih bisa begitu? Wallahu a'alam. Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia.

3. Demokrasi... tidak memberi jaminan apapun untuk perbaikan kehidupan manusia. Janji-janji tinggal janji, realisasi? Nol besar!
Coba bayangkan... demokrasi ini sangat mahal, menyerap anggaran yg besar dari dara rakyat di APBN dan APBD (selengkapnya baca tulisan sy tentang Demokrasi : Mahal & kufur)tapi tidak memberi jaminan, pemimpin yang dilahirkan dari proses demokrasi akan membawa perubahan yg fundamental mencapai kesejahteraan umat.
Banyak orang mengatakan, yg salah orangnya bukan demokrasinya. Perlu diketahui, sistem demokrasi sejak awalnya sudah cacat, bobrok, karena tidak menerapkan aturan Allah sebagai landasan kehidupan. Ketika manusia (sok tahu) membuat aturan, maka yg terjadi adalah permainan kepentingan. Bisa dikatakan apa yg dihasilkan hanyalah kepentingan2 individu semata untuk mengeruk keuntungan dari uang rakyat. Urusan rakyat, diurus belakangan... naudzubillahi min dzalik!

Padahal, Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban pemimpin. Para pemimpin yg lalai pada urusan umat, tunggu pembalasannya di akhirat!

Kamis, 20 November 2008

Memakai Jilbab Hukumnya Wajib. Mengapa Dipersoalkan?



Sangat pilu! Itulah perasaan seorang gadis Muslimah yang bernama Winie Dwi Mandella, petugas medis di RS Mitra Keluarga Bekasi Barat. Betapa tidak, di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini ia mendapatkan perlakuan yang sangat tidak adil; dipecat dari rumah sakit tempat kerjanya hanya karena mengenakan jilbab/kerudung.

Kisah malang yang menimpa Winie semakin menambah panjang kasus-kasus serupa di tempat lain dan institusi yang berbeda. Puluhan tahun silam, Januari 1983, misalnya, SMAN 68 Jakarta Pusat pernah melarang salah seorang siswinya mengikuti pelajaran karena mengenakan jilbab. Ia dianggap tidak mematuhi aturan seragam sekolah. Hal serupa terjadi di SMAN 33 Jakarta.

Masih ingat dengan kasus pemecatan Hadis dan Dewi? Mereka adalah dua mahasiswi Akper Muhammadiyah Banjarmasin yang dikeluarkan lantaran tidak menaati aturan berpakaian yang ditetapkan oleh institusi tempatnya belajar. Keduanya dikeluarkan hanya karena mengenakan jilbab yang mereka yakini lebih sempurna. Ini terjadi pada tahun 2003.

Setahun lalu (2007), di Jawa Timur, juga ada larangan berjilbab bagi peserta seleksi calon anggota Paskibraka di Kabupaten Kediri. Di Jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta memperketat aturan berjilbab bagi para mahasiswinya. Di Bandung, juga terjadi pelarangan jilbab bagi perawat di Rumah Sakit Kebonjati.

Sebetulnya, masih banyak kasus serupa di banyak tempat lain di Indonesia, yang mungkin sebagiannya tidak terungkap oleh media secara nasional. Jelas, ini ironis sekali. Pasalnya, Indonesia bukan seperti negara-negara Barat yang jelas-jelas kufur. Indonesia mengklaim bukan negara sekular. Bahkan tertuang dalam UUD 1945, pasal 29: Negara memberikan jaminan kebebasan bagi warga negaranya untuk menjalankan kehidupan beragamanya.

Muslimah di belahan dunia lain juga tidak kalah pilunya. Mereka mendapatkan perlakuan tidak adil dan biadab. Turki, misalnya, yang mayoritas penduduknya Muslim dan pernah menjadi pusat pemerintahan Islam selama berabad-abad lamanya, melarang mahasiswanya untuk mengenakan jilbab ke kampus. Demi mempertahankan jilbabnya, banyak gadis berjilbab yang akhirnya putus sekolah dan lebih memilih tinggal di rumah daripada pergi ke kampus dengan rambut terurai.

Di Jerman, wilayah larangan berjilbab semakin meluas. Dari 16 negara bagian, 8 negara bagian telah memberlakukan larangan tersebut. Dikatakan, larangan berjilbab diadakan untuk menghindari seseorang dari pengaruh. Tidak jelas pengaruh apa yang dimaksud.

Di Prancis, Presiden Jacques Chirac telah memberlakukan undang-undang yang juga melarang penggunaan jilbab bagi Muslimah.

Di Belanda, Maret 2006, Geert Wilders yang merupakan salah seorang anggota parlemen sayap kanan menggelindingkan bola liar dengan mengusulkan larangan mengenakan burqa (termasuk juga jilbab). Ia mengatakan bahwa burqa akan menjadi musuh kaum perempuan. Apa yang dilontarkan oleh Wilders berbuntut pada munculnya peraturan yang melarang pemakaian burqa secara nasional di seluruh wilayah Belanda pada Desember 2006.

Di Inggris, November 2004, jilbab juga kembali dilecehkan. Saat ini dilontarkan oleh institusi tertinggi kedua dalam Keuskupan Inggris. Pernyataan itu berasal dari Uskup York, John Sentanu, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar British Daily Mail. Ia menyatakan bahwa jilbab tidak sesuai dengan norma-norma kesopanan.
Larangan berjilbab juga diberlakukan di Swedia dan Belgia.

Di Spanyol jilbab dituduh sebagai simbol penindasan terhadap kaum perempuan. Padahal Spanyol telah mengakui Islam berdasarkan undang-undang kebebasan beragamanya yang disahkan pada Juli 1967.

Di Nigeria jilbab di sekolah serta penggunaan celana panjang dan peci untuk laki-laki juga dilarang.

Bahkan di negara Timur Tengah seperti Tunisia pun terjadi hal yang sama. Saat kepemimpinan Presiden Tunisia Habib Bouruiba, tahun 1981 Tunisia meratifikasi UU nomor 108 yang melarang wanita Muslimah di Tunisia mengenakan jilbab di lembaga-lembaga pemerintahan. Puncaknya, Pemerintah Tunisia bahkan ‘mengharamkan’ wanita berjilbab ‘masuk’ dan dirawat di rumah sakit negara. Lebih ‘biadab’ lagi, pemerintah telah melarang ibu-ibu hamil melahirkan anaknya di rumah sakit negara lantaran berjilbab. Bahkan saking kalapnya dalam aksi pemberangusan jilbab, pada September 2006, pemerintah Tunisia menggelar sebuah operasi pengamanan dengan mengobrak-abrik berbagai toko yang di dalamnya menjual boneka berjilbab, ‘Fulla’.

Inilah potret Muslimah yang selalu menjadi korban pertama dan utama dalam setiap penerapan sekularisme radikal. Mereka juga sekaligus korban dari apa yang disebut dengan ‘Islamophobia’ (ketakutan dan kebencian terhadap Islam).
Pejuang HAM Diam, Penguasa Tak Peduli

Dalam banyak kasus larangan jilbab, berbagai LSM/kelompok-kelompok pejuang HAM lebih banyak diam. Kemana pula para pegiat isu gender? Bukankah para Muslimah juga perempuan yang harus diperjuangkan hak publiknya? Mungkin karena kasus larangan jilbab justru menguntungkan mereka. Pasalnya, selama ini mereka bekerja seolah untuk sebuah ‘proyek’: menyudutkan Islam dan kaum Muslim. Saat Islam dan kaum Muslim sedang tersudut, mereka diam. Ketika ada peluang untuk menyudutkan Islam dan kaum Muslim, dengan cepat mereka bereaksi. Contohnya dalam kasus poligami Aa Gym beberapa waktu lalu atau pernikahan Syekh Puji-Ulfa baru-baru ini.

Di sisi lain, penguasa pun seolah tidak peduli terhadap kasus-kasus sensitif yang menimpa umat Islam, termasuk kaum Muslimah, khususnya dalam kasus larangan jilbab. Padahal, bandingkan dengan dulu saat umat Islam berada dalam naungan Kekhilafahan Islam dan penerapan syariah Islam, serta dipimpin oleh para khalifah yang adil dan amanah. Pada masa Khalifah al-Mu’tashim Billah, misalnya, pernah seorang Muslimah berteriak, “Wahai al-Mu’tasim! Di manakah engkau?!” Muslimah itu ditawan oleh Kerajaan Romawi di Malta. Di sana ia dilecehkan kehormatannya sekaligus diperlakukan dengan sangat buruk. Meski ia sangat jauh di Malta, beritanya telah tersebar dari orang ke orang hingga sampai juga kepada Khalifah.

Dengan cepat Khalifah al-Mu’tashim bereaksi. Tidak tanggung-tanggung. Ia lalu mengumandangankan jihad terhadap Kerajaan Romawi. Secepat kilat, Khalifah al-Mu’tashim berikut puluhan ribu bala-tentara kaum Muslim bergerak menuju kota Ammuriyah di Romawi, untuk kemudian menaklukan Kerajaan Romawi saat itu juga. Demikianlah, hanya demi melindungi seorang Muslimah, Khalifah tak segan-segan mengumandangkan perang jihad melawan siapa saja yang melecehkan Islam dan kaum Muslim.

Bagaimana dengan nasib ribuan—bukan hanya seorang—Muslimah pada hari ini yang bernasib buruk? Mereka bukan saja dilarang berjilbab, bahkan sebagiannya dilecehkan kehormatannya dan diperkosa oleh orang-orang kafir, sebagaimana telah banyak terjadi di Palestina, Irak dan Afganistan. Tak ada satu pun penguasa Muslim yang tersentuh kemudian tergerak untuk melindungi mereka.
Islamophobia Vs Keagungan Islam

Berbagai kasus pelarangan jilbab di Indonesia maupun di luar negeri, khususnya di negara-negara Barat, boleh dikatakan merupakan wujud dari masih bercokolnya sikap Islamophobia (ketakutan dan kebencian terhadap Islam), baik di kalangan umat Islam sendiri maupun kalangan non-Muslim.

Tentu aneh jika ada kalangan Islam yang malah phobi (takut) terhadap Islam. Adanya ketakutan dan kebencian kaum kafir terhadap Islam juga tak kalah anehnya. Pasalnya, sepanjang sejarah, saat umat Islam menjadi pemimpin dan syariah Islam diterapkan, Islam adalah agama yang senantiasa menjamin keamanan, keselamatan dan kebebasan kaum minoritas non-Muslim dalam beribadah sesuai dengan keyakinan mereka. Ini sudah berlaku sejak masa Rasulullah saw. dan tetap dilaksanakan oleh para khalifah sepeninggal Beliau. Kebijakan yang begitu ramah terhadap non-Muslim ini terus berlangsung selama berabad-abad lamanya sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam.

Karen Amstrong dalam bukunya, Holy War, menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Khalifah Umar bin al-Khathathab kira-kira sebagai berikut, “Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah meminta agar ia segara dibawa ke Haram asy-Syarif dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Muhammad saw. melakukan perjalanan malamnya. Sang Uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berpikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantaian dan menandai datangnya Hari Kiamat. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.”

Setelah itu, penduduk Palestina hidup damai dan tenteram; tidak ada permusuhan dan pertikaian meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda: Islam, Kristen, dan Yahudi.

Apa yang dilakukan Khalifah Umar ra. jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 M. Ketika mereka berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 1837 oleh Khalifah Umar ra. hancur berkeping-keping.

Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubi berhasil membebaskan Kota al-Quds pada tahun 1187 M, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban yang serupa. Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini sebagai berikut, “Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya. Ia menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Ia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099…”

Perlakuan Kekhilafahan terakhir, Khilafahan Utsmaniyah, terhadap kaum non-Muslim dilukiskan sejarahwan Inggris, Arnold J. Toynbee, dalam bukunya, Preaching of Islam, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…”

Demikianlah, dengan secuil fakta sejarah di atas, jelas tidak seharusnya orang-orang non-Muslim, apalagi kaum Muslim, tetap mengidap Islamophobia. Sebab, Islam datang memang untuk menebarkan rahmat bagi seluruh umat manusia. Mahabenar Allah SWT yang berfirman:

Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluuruh alam (QS. Al-Anbiya [21]: 107).[]

The Death of Capitalism!



Membaca koran JP pagi ini ada berita yang bikin miris. Gimana nggak miris, Cicilan Utang Luar Negeri Membengkak! Tahun Depan (2009) hutang Rp 250 triliun jatuh tempo. Utang itu terdiri dari utang pemerintah USD 88,1 miliar, utang perbankan USD 5,5 miliar, utang non bank USD 50,1 miliar, utang lain-lain USD 2,5 miliar. Total utang luar negeri 146,226 miliar. Jatuh tempo tahun 2009 USD 22 miliar.

Kondisi ini nggak lepas dari krisis keuangan global yang mulai membangkrutkan Amerika sejak 2007. Dampak krisis itu semakin nyata terlihat dengan tak berdayanya Indonesia membayar utang luar negerinya, bahkan di waktu jatuh tempo sekalipun. Bahkan pertengahan tahun 2009 diperkirakan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan meningkat. Angkanya akan lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2008. “Pasti itu. Karena itu, pemerintah harus waspada,” kata Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Chris Kanter di sela-sela Rakornas Kadin di Jakarta, Selasa (18/11). Saat ini indikasi PHK massal mulai terlihat dengan adanya beberapa pekerja yang dirumahkan. “Itu sebenarnya PHK kecil,” tuturnya.
Banyak analis mengatakan, inilah masa kehancuran kapitalisme. Kapitalisme sudah sekarat, sebentar lagi mati!

Tidak ada pilihan lain. Bertahan dengan kapitalisme berarti memperpanjang umur kesengsaraan. Sebenarnya ada sistem alternatif yang jauh lebih kuat karena datang dari Dzat yang Maha Sempurna, Allah SWT. Sistem ekonomi Islam – yang sebenarnya jauh lebih kompleks dari sekedar pelarangan riba (bunga). Berbeda dari Kapitalisme, sistem ekonomi Islam selalu menomorsatukan kebutuhan dan pemberdayaan masyarakat secara riil –-bukan sekedar pertumbuhan ekonomi saja-– sebagai isu utama yang memerlukan jalan keluar dan penerapan kebijakan. Sistem Islam memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda tentang ekonomi, sehingga jalur pengembangan ekonominya pun berbeda dari Kapitalisme.

Sistem Ekonomi Islam menfokuskan pada manusia dan pemenuhan kebutuhannya, bukan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Nabi Muhammad saw bersabda, ”Anak Adam tidak memiliki hak selain memiliki rumah untuk berteduh, pakaian untuk menutupi dirinya, dan sepotong roti dan seteguk air.” (Hr. At-Tirmidhi). Dasar pemikiran yang membentuk sistem ekonomi Islam melahirkan kebijakan dan peraturan yang diarahkan untuk mencapai fokus tersebut. Islam menaruh perhatian khusus untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagaimana yang diterangkan dalam hadith sebelumnya, ketimbang pada penambahan angka GDP saja.

Dalam hal ini, negara diwajibkan oleh Islam untuk memiliki peran langsung dalam pencapaian tujuan ekonomi, dan tidak begitu saja membiarkannya kepada sistem pasar bebas. Nabi Muhammad Saaw bersabda, ”Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” (H.r. Ibn Majah) Berdasarkan dari hadith Nabi tersebut, negara menguasai kepemilikan dari sumber daya alam berbasis api seperti minyak, gas bumi, penyulingan, instalasi pembangkit listrik sebagaimana sumber air. Dengan demikian, masyarakat tidak akan rawan untuk menjadi obyek eksploitasi perusahaan swasta yang meraup keuntungan dari instalasi strategis yang tersebut diatas. Negara juga akan mengontrol lembaga-lembaga yang mengatur atau mengurus instalasi tersebut sehingga mampu untuk segera bertindak ketika diperlukan dan sebelum terlambat.

Ekonomi Islam tidak mengenal dualisme ekonomi– yaitu ekonomi yang terdiri dari sektor riil dan sektor keuangan, dimana aktifitasnya didominasi oleh praktik pertaruhan terhadap apa yang akan terjadi pada ekonomi riil. Ekonomi Islam didasarkan pada ekonomi riil. Dengan demikian, semua aturan ekonomi Islam memastikan agar perputaran harta kekayaan tetap berputar. Larangan terhadap adanya bunga (riba) bisa dipraktikan dengan melakukan investasi modal di sektor ekonomi rill, karena penanaman modal di sektor lain dilarang. Kalaupun masih ada yang berusaha menaruh sejumlah modal sebagai tabungan atau simpanan di bank (yang tentunya juga tidak akan memberikan bunga), modal yang tersimpan tersebut juga akan dialirkan ke sektor riil. Artinya, tiap individu yang memiliki lebih banyak uang bisa ia tanam di sektor ekonomi riil, yang akan memiliki efek berlipat karena berputarnya uang dari orang ke orang yang lain. Keberadaan bunga, pasar keuangan, dan judi secara langsung adalah faktor-faktor yang menghalangi perputaran harta.

Islam menetapkan bahwa emas dan perak merupakan mata uang, bukan yang lain. Mengeluarkan kertas substitusi harus dicover dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.

Seluruh dunia di masa lalu terus menerus menggunakan standar emas dan perak itu sebagai mata uang sampai beberapa saat sebelum Perang Dunia I, ketika penggunaan standar tersebut dihentikan. Seusai Perang Dunia I, standar emas dan perak kembali diberlakukan secara parsial. Kemudian penggunaannya semakin berkurang dan pada tanggal 15 Juli 1971 standar tersebut secara resmi dihapus, saat dibatalkannya sistem Bretton Woods yang menetapkan bahwa dollar harus ditopang dengan jaminan emas dan mempunyai harga yang tetap. Dengan demikian, sistem uang yang berlaku adalah sistem uang kertas inkonvertibel, yang tidak ditopang jaminan emas dan perak, tidak mewakili emas dan perak, dan tidak pula mempunyai nilai intrinsik. Nilai pada uang kertas tersebut hanya bersumber dari undang-undang yang memaksakan penggunaannya sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender).

Negara-negara penjajah telah memanfaatkan uang tersebut sebagai salah satu alat penjajahan. Mereka mempermainkan mata uang dunia sesuai dengan kepentingannya dan membangkitkan goncangan-goncangan moneter serta krisis-krisis ekonomi. Mereka juga memperbanyak penerbitan uang kertas inkonvertibel tersebut, sehingga berkecamuklah inflasi yang menggila, yang akhirnya menurunkan daya beli pada uang tersebut. Inilah salah satu faktor yang menimbulkan kegoncangan pasar modal.

Sistem ekonomi Islam juga melarang riba, baik nasiah maupun fadhal, juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal terdapat bagian khusus untuk pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, sebagai bentuk bantuan untuk mereka, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.

Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum dikuasai oleh penjualnya, sehingga haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan.

Sesungguhnya terjadinya goncangan-goncangan pasar modal di Barat dan di bagian dunia lain itu telah menelanjangi kebobrokan sistem ekonomi kapitalis, sistem perseroan terbatas atau syarikah musahaman, sistem bank ribawi, dan sistem uang kertas inkonvertibel. Goncangan-goncangan tersebut juga menunjukan bahwa tidak ada jalan lain bagi dunia untuk keluar dari kerusakan sistem ekonomi kapitalis dan goncangan pasar modal tersebut, selama sistem-sistem itu masih tetap ada.

Maka yang dapat membebaskan dunia dari kebusukan semua sistem tersebut adalah dengan menghapus secara total sistem ekonomi kapitalis yang rusak, menghapus sistem perseroan atau syarikah musahamah (atau dengan cara mengubahnya menjadi peru- sahaan yang Islami), menghapus sistem bank ribawi (termasuk menghapus riba itu sendiri), serta menghapus sistem uang kertas inkonvertibel dan kembali kepada standar emas dan perak.

Jika semua langkah ini ditempuh, niscaya tak ada lagi inflasi moneter, kredit-kredit bank dengan riba, dan spekulasi-spekulasi yang menyebabkan kegoncangan pasar modal. Akan lenyap pula kebutuhan akan bank-bank ribawi.

Dengan demikian, stabilitas ekonomi dunia akan terwujud, krisis moneter akan lenyap, dan tak ada lagi alasan untuk menjustifikasi keberadaan pasar modal. Krisis ekonomi pun akan berakhir. Keadilan dan kesejahteraan yang didambakaan akan terwujud. Begitulah, sistem ekonomi Islam benar-benar akan menyelesaikan semua kegoncangan dan krisis ekonomi yang mengakibatkan derita manusia. Ia merupakan sistem yang ditetapkan oleh Tuhan semesta alam, yang Maha Tahu apa yang baik untuk seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman:

(أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ)

“Apakah Allah Yang Maha menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Q.s. al-Mulk [67]: 14)

So, segera perjuangkan syariah! Tegakkan Khilafah!

Rabu, 19 November 2008

Buruh, UMK, kesejahteraan... siapa peduli?


Di tengah hujan kemarin ratusan buruh ABM basah kuyup bersama polisi dan wartawan. Mereka memperjuangkan haknya mendapatkan upah yang layak untuk kesejahteraan. Selama liputan di tengah hujan yg deras, akankah perjuangan buruh hari ini akan bermuara pada keadilan atas tuntutan mereka?
Dan endingnya pun bisa ditebak...
Sy liputan UMK buruh sudah ketiga kalinya. Setiap tahun mereka menuntut, UMK harus sesuai survey Kebutuhan Hidup Layak. Karna bunyi UU Ketenagakerjaan begitu. Tapi selalu saja pemerintah berdalih... "Iya, UMK sesuai survey kebutuhan hidup layak. Tapi dilakukan secara bertahap... ingat ya bertahap!" kata Kepala Dinas Tenaga Kerja Jatim kemarin. Yang ia maksud dengan bertahap adalah.. pencapaian UMK sesuai KHL akan dilakukan tapi tidak sekarang. Mboh tahun kapan!
Padahal, setiap tahun buruh menjerit! Kesejahteraan mereka tergadaikan! Tidak ada yang peduli!
Emang gue pikirin? Boro-boro mikirin nasib rakyat (apalgai buruh), nih lagi mikirin... mau jadi Gubernur dulu! Mau mikir pilpres 2009, mau nyalon Presiden dananya dari mana? Itu tuh... ciri negara kapitalis (meski SBY paling ogah disebut Indonesia negara kapitalis! Padahal praktek negara kapitalis sudah dilakukan bertahun2..)
Sekedar berbagi konsep ketenagakerjaan dalam sistem Islam...
Dalam sistem Islam ada konsep pengupahan yg dilakukan seorang pengusaha pada pekerja. Dengan konsep pengupahan dan pekerjaan yg jelas dalam akad (kontrak) kerja. Satu hal yg sangat berbeda dengan penentuan upah ala kapitalis, upah yg diberikan pada buruh bukan disandarkan pada jumlah barang produksi yg laku di pasaran. tapi distandarkan pada besarnya tenaga/jasa yang diberikan buruh dalam pekerjaannya. contoh nih, ada buruh pabrik mie kerja pagi sampe malem memjalankan mesin produksi yang sangat berat sehingga mengeluarkan tenaga ekstra keras ternyata cuma digaji 30 ribu per hari. dalam konsep Islam, ini nggak fair bagi si buruh. karena itu, buruh punya bergaining power menentukan upahnya berdasarkan tenaga/jasa yang telah dikeluarkannya.
tapi ada juga catatan, dalam penentuan upah, dalam konsep Islam, pengusaha tidak menanggung kesejahteraan buruh! Jadi nggak perlu tuh survey tempat kos, makan, pakaian, pendidikan anak, biaya rumah sakit dll. Enteng kan buat pengusaha???
Lha trus, yg nanggung kesejahteraan buruh siapa? Dalam konsep Islam, NEGARA WAJIB MEMBERIKAN FASILITASI KESEJAHTERAAN RAKYAT. Pendidikan gratis, sampai level apapun bisa sekolah gratis. Biaya rumah sakit gratis, sakit apapun, gratis. Negara juga berkewajiban menyediakan perumahan untuk rakyat, bahkan untuk mereka yg cacat atau tidak mampu bekerja diberikan tunjangan oleh negara.
Beda dengan negara kapitalis macam Indonesia ini, pendidikan, kesehatan, perumahan semua dibebankan pada rakyat. Lha trus apa gunanya memilih pemimpin dalam pemilu kalau cuma bisa cuek urusan rakyat dan lebih peduli urusan diri sendiri???

Study Banding Anggota Dewan


Cerita off the record ini sebenarnya sudah agak lama saya dapatkan. Seorang dosen, pengamat hukum lingkungan yang juga staf kementrian LH bercerita banyak pada sy. Waktu itu, blio sedang getol memperjuangkan RUU sampah.
Awalnya dia cerita tentang RUU sampah yang digagas kementrian LH ini sebagai terobosan baru satu diantara penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Supaya bisa jadi UU, RUU ini harus mendapat pengesahan dari DPR.
Sebenarnya, pembahasan RUU ini tidak rumit, tapi sama wakil rakyat "sengaja dibuat rumit". Dalam beberapa kali rapat dengan eksekutif anggota DPR (yang konon terhormat... sekarang masih terhormat ga ya? atau sudah terlaknat? wallahu alam bishawab) selalu mengulur-ulur pembahasan. Yang kurang inilah, kurang itu lah. harus begini dan begitu. Ujung-ujungnya mereka mengajukan sejumlah permintaan pada eksekutif. Permintaannya luar biasa...
1. Minta kunjungan luar negeri untuk study banding ke Cina. Ga tanggung-tanggung, mereka minta tinggal di hotel mewah yang ada lapangan golf-nya.
2. Uang saku puluhan juta per orang harus jadi tanggungan KLH
Lucunya... sebelum mereka brangkat study banding, eh... laporan study bandingnya sudah jadi karena sudah dikerjakan orang2 KLH... Edan tenannnn!
Jadi ternyata di Cina mereka cuma main golf, blanja2, wisata...dll yang ga ada hubungannya sama urusan rakyat!
Itu belum cukup. Supaya RUU ini disahkan, KLH juga harus menyiapkan uang pelicin untuk setiap anggota dewan. "Di depan mata sy mereka terima uang itu, tapi nggak mau tandatangan kuitansi. Bahkan kuitansinya dirobek..." cerita dosen hukum LH ini sambil kesal.
Itulah perilaku anggota dewan. Tanpa bermaksud menggeneralisir (oknum barangkali... tapi klo oknum, kok sekarang banyak yg ditangkapi KPK, bahkan ada yg semua anggota komisi terima uang haram...jadi yang benar oknum atau... semua oknum anggota dewan... hahahaha...) kejadian semacam ini bukan yang pertama dan terakhir, bahkan bukan satu2nya. Bahkan praktek2 semacam ini menjadi hal yang lazim, lumrah, adat... walah!
Jadi... masih percaya dengan wakil rakyat? Bener2 percaya mereka akan memperjuangkan nasib anda? Masih percaya pada demokrasi yg katanya akan memilih pemimpin yang adil & mensejahterakan rakyat? Olala... c'mon wake up! Sekarang sudah bukan waktunya berdemokrasi... tapi waktunya menegakkan syariah dan khilafah... Allahu Akbar!

Makan Uang Rakyat, Hmmmm...


Sore tadi, teman sekantor (jurnalis webnews) tiba2 nyamperin...
Awal kalimat yang dia katakan, "Pernah ngerasain makan uang rakyat?"
Waduh... pertanyaan yg gawat. Aku mulai "menginterogasinya" dengan sejumlah pertanyaan. "Emang enak? Uang apaan? Untuk apa? Gimana rasanya?"
Temen itu pun mulai bercerita... (mungkin secara redaksional cerita ini tidak mirip dengan apa yg dia sampaikan. Tapi kurang lebih intinya sama).
Suatu hari (ya... beberapa hari sebelum cerita ini sy tulis), ia mendapat tugas mengikuti studi banding dengan Pemkot Surabaya. Acaranya 3 hari, tujuannya Bali! Study banding tentang pengelolaan kawasan mangrove untuk melindungi pantai dan ekosistemnya. Sebenarnya, kalau dari sisi penugasan yg akan dilakukan, tema ini bagus. mengingat di Surabaya pemberdayaan mangrove masih sangat kurang, padahal sangat dibutuhkan.
Lanjut ke study banding tadi...
Kata temen jurnalis website ini, sebelum berangkat study banding, dilakukan briefing acara dengan wartawan untuk mengatur jadwal keberangkatan dan acara di Bali. "Waktu kulihat jadwal acaranya, aku mulai curiga. Karna dari 3 hari perjalanan dg PP pesawat itu, study banding mangrove cuma 1 hari aja. Selebihnya untuk plesir aliar wisata..."
Meski sedikit curiga, temen jurnalis ini akhirnya berangkat juga. Dengan harapan ketika sampai di tempat, ia akan mendapat liputan yg menarik sekaligus wawasan tentang pengelolaan hutan mangrove.
Eh... sampai di lokasi ternyata jadwal acara persis seperti yang sudah diberitahukan sebelumnya. Selama 3 hari yang ada cuma plesir..plesir dan plesir dengan sedikit study banding. Gimana nggak sedikit? Dari 3 hari itu, study banding ke hutan mangrovenya cuma 3 jam!
Temenku ini langsung kecewa, sedih dan prihatin. ia masih menyimpan idealisme seorang jurnalis. Ia sedih karna kegiatan yg dinamakan study banding itu ternyata hanya "tipu2" karena acara itu sebenarnya bukan untuk study banding tapi untuk wisata. Padahal berapa uang rakyat yg dikeluarkan untuk acara itu?
Disana temen2 pada main2 dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Saking kesalnya bertarung dengan idealisme, temen ini pilih mabok sepanjang malam. (dia bilang, "mendem" bisa menghilangkan stress! dasar gendeng!). Bukannya mabok sendirian, dia juga ngajak2 temen2 wartawan lain bahkan staf Dinas Infokom. Weleh... weleh...
Sepanjang 3 hari itu, kata temen jurnalis ini, ia tidak membuat berita apapun. "Gimana bisa bikin berita, lha wong plesir terus..."
Dengar cerita ini, jadi ingat study banding ala anggota dewan. Sekedar tau aja, sekarang ini masa2 "menghabiskan" anggaran dari APBD 2008. Dengan kedok penyerapan anggaran, maka kegiatan bisa dibuat sefiktif mungkin. Termasuk acara wisata, bisa dimasukkan kegiatan study banding. Ngomong2 soal study banding anggota dewan... nanti ada ceritanya sendiri. Seru!
Rakyat.... bagaimana kalo anda tahu bahwa uang anda hanya dihamburkan? Begitu banyak pajak yg anda setor tapi ternyata hanya untuk plesiran... Sampai2 wartawan pun dapat jatah... Hak anda sebagai kaum yang katanya berkuasa (klo menurut teori demokrasi kan 'dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat'), ternyata anda hanya dikibuli? Orang2 yang selama ini anda percayai akan mengelola uang rakyat (kekuatan APBD Kota Surabaya sekitar 1,5 triliun rupiah, maaf... klo salah bisa dikoreksi) ternyata cuma koruptor yg sangat pandai menghabiskan uang anda.
Kasus seperti ini, bukan yang pertama dan bukan satu2nya. Bahkan saking tersistemnya, mekanisme ini berjalan baik sampai sekarang.
Inilah jika birokrasi sudah berpadu dengan fasluddin anil hayyah (sekuler, pemisahan agama dengan kehidupan). Inilah dampak dari sekulerisme itu. Batasan KKN jadi samar. Yang benar dan salah, hampir jadi tidak pasti. Inilah kapitalis dengan ide sekulernya yang membuat orang berani KKN. Wis ga wedhi Gusti Allah!
Sy ingat di masa pemerintahan Abu Bakar ra. Ketika beliau didatangi putranya di rumah, Abu Bakar bertanya sebelum putranya mengutarakan maksudnya. "Kau datang padaku untuk urusan pribadi atau urusan umat?"
"Urusan pribadi," jawab sang anak.
Abu Bakar pun segera berdiri dan mematikan lampu.
"Ayah, kenapa lampunya dimatikan?" tanya putra Abu Bakar.
Abu Bakar menjawab, "Karena lampu ini dibiayai dengan uang rakyat. sedangkan kita membicarakan urusan pribadi. Tidak sepantasnya urusan pribadi kita dibiayai dengan uang rakyat."
Subhanallah... lihatlah bagaimana seharusnya seorang pemimpin memperlakukan uang rakyat dengan baik. Tidak dihamburkan, apalagi dikorupsi. Naudzubillah!
Karena itu, Islam dengan syariahnya yg sempurna harus segera diwujudkan. Ini kalau mau berubah menuju yg lebih baik. Kecuali... masih mau bertahan dengan kebobrokan semacam ini??? Sy mah ogah! Makanya, always fight for khilafah, forever!

Senin, 10 November 2008

Rekayasa Demokrasi

Siang tadi, aku wawancara dengan salah satu anggota dewan dari partai merah. dia pendukung satu diantara calon gubernur Jatim yang sedang di atas angin (sebelum penghitungan suara). ada statemen off the record yang dia bilang, "kalo mau main2 di Pilkada, bisa aja. sy pernah melakukannya..."
Then dia bicara banyak...
Bapak anggota dewan yang konon terhormat ini bilang, perolehan suara dalam pilkada itu bisa saja dimainkan.
Caranya..?
Kumpulkan KPU dari berbagai kab/kota, trus nego. berapa harga untuk nambah suara biar bisa menang pilkada?
Dan anggota KPU pun (kata anggota dewan ini) membuat harga untuk setiap suara. Anggota dewan ini tidak merinci berapa harga tiap suara, tapi yang jelas jumlahnya sangat besar. Karena harga itu sepadan dengan rekayasa suara yang dibuat untuk memenangkan calon tertentu. Gila!
well, well, ini dia demokrasi
inikah yang dikatakan para pemuja demokrasi sebagai kearifan?
demokrasi yang lahir dari kapitalisme tidak pernah arif, apalagi dalam memilih pemimpin. benar2 inilah politik dagang sapi.
Masyarakat seharusnya tidak perlu lagi mempercayai demokrasi. karena pemimpin2 yang lahir darinya, tidak lebih hanya rekayasa belaka. lihat nanti bagaimana mereka menjalankan pemerintahannya, yang dipikirkan hanya uang dan uang. mengurus masalah ummat itu no ke seribu...
masyaallah... lantas bagaimana mereka mempertanggungjawabkan kepemimpinannya pada Allah?

Selasa, 21 Oktober 2008

Keuntungan Sistem Emas dan Perak

Selama emas dan perak menjadi mata uang yang beredar di seluruh dunia, tidak akan dijumpai adanya masalah yang terkait dengan mata uang ini sama sekali. Permasalahan tentang mata uang tidak pernah muncul kecuali setelah hilangnya (praktek) sistem emas dan perak di dunia. Ini karena negara-negara penjajah telah menggunakannya sebagai uslub penjajahan ekonomi dan keuangan untuk menguasai dunia. Mata uang dijadikan sebagai salah satu sarana penjajahan, dan mereka berupaya menghilangkan pilar-pilar (sistem) emas dan perak. Mereka merubah mata uang menjadi sistem lain, yaitu dengan membiarkan berlakunya sistem barter dan mata uang (kertas) biasa yang tidak disandarkan kepada emas dan perak. Para penjajah juga memainkan mata uang dunia dalam upayanya untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan mereka, merekayasa krisis-krisis mata uang, memunculkan problematika ekonomi, dan membanjiri penerbitan mata uang dengan mata uang kertas biasa, yang mengakibatkan inflasi besar-besaran terhadap mata uang dan hancurnya daya beli (nilai) mata uang. Semuanya tidak mungkin terjadi melainkan disebabkan telah lenyapnya kaedah (sistem mata uang) emas dan perak.
Kaedah emas dan perak merupakan satu-satunya (sistem mata uang) yang mampu menyelesaikan problematika mata uang, menghilangkan inflasi besar-besaran yang menimpa seluruh dunia, dan mampu mewujudkan stabilitas mata uang dan stabilitas nilai tukar, serta bisa mendorong kemajuan perdagangan internasional. Hal itu karena sistem emas dan perak memiliki keistimewaan ekonomi yang sangat banyak, di antaranya:
1. Emas dan perak adalah barang yang proses (eksplorasi dan produksinya) mengharuskan adanya penelitian, memerlukan eksplorasinya, dan karena adanya permintaan sebagai pembayaran atas barang-barang dan jasa. Membekali dunia dengan mata uang (yang benar-benar intrinsiknya berharga-peny), bukan karena belas kasihan negara-negara penjajah seperti yang terjadi dalam sistem uang kertas biasa, dimana mereka mampu mengatasinya dengan menyalurkan uang ke pasar-pasar sekehendaknya, melalui cetakan (uang) tambahan setiap kali bermaksud memperbaiki neraca keuangan dan pembayaran dengan negara-negara lain.
2. Sistem emas dan perak tidak menyebabkan dunia mengalami kelebihan (mata uang) secara tiba-tiba dengan bertambahnya peredaran mata uang, seperti yang biasa terjadi pada mata uang kertas. Ini karena mata uang (emas dan perak) bersifat tetap dan stabil, serta makin bertambah kepercayaannya.
3. Sistem emas dan perak dapat menjaga neraca keuangan dengan memperbaiki defisit neraca pembayaran internasional, dan perkara lain yang terkait tanpa campur tangan bank sentral. Seperti yang terjadi dewasa ini dengan intervensi (bank sentral) setiap kali nilai tukar tidak stabil diantara mata uang asing. Apabila (neraca) pendapatan bertambah dari barang-barang ekspor, hal ini akan meningkatkan pendapatan dari negara-negara lain berupa mata uang negara. Dan ini berarti akan meningkatkan arus masuk emas dan perak dari luar negeri. Akibatnya harga-harga di dalam negeri menjadi turun. Barang-barang produk dalam negeri menjadi lebih murah dibandingkan barang-barang impor. Pada akhirnya akan menurunkan volume barang-barang impor. Benar, negara merasa khawatir mengalami kekurangan cadangan emas dan perak jika defisit neraca pembayaran terus berlangsung. Dalam sistem uang kertas permasalahan ini ditanggulangi dengan cara mencetak uang kertas baru, setiap kali terjadi defisit neraca pembayaran. Sebab, tidak ada syarat (yang mengikat) untuk menerbitkan (uang kertas baru). Dan hal ini mengakibatkan semakin bertambah besarnya inflasi, serta menurunnya kekuatan (nilai) daya beli mata uang. Sedangkan di dalam sistem emas dan perak, negara tidak mungkin memperbanyaknya dengan menerbitkan mata uang kertas (baru), selama uang kertas (yang ada) mampu menukarnya menjadi emas dan perak dengan harga tertentu. Karena negara khawatir bahwa memperbanyak (mata uang) dengan menerbitkan (mata uang baru) akan meningkatkan permintaan akan emas, sementara negara tidak mampu menghadapi permintaan ini. Dan jika tidak (mampu dipenuhi) akan terjadi pelarian emas ke luar negeri. Hal ini berujung pada berkurangnya cadangan emas dan perak.
4. Emas sebagai satu-satunya mata uang (negara Khilafah) mengakibatkan negara-negara lain tidak dapat mengontrol mata uangnya. Hal ini membawa keistimewaan yang luar biasa pada jumlah mata uangnya. Karena mata uang di negara (Khilafah) bisa mencukupi kebutuhan pasar akan mata uang yang beredar, tanpa melihat lagi apakah jumlahnya banyak atau sedikit. Barang-barang secara keseluruhan mengambil nilai tukar dengan mata uang. Dan bertambahnya produksi barang-barang berakibat turunnya harga barang-barang tersebut. Dalam sistem mata uang kertas, fenomena ini tidak bisa meningkatkan (nilai) mata uang, malahan akan menurunkan nilai beli dari mata uang. Dan ini menyebabkan inflasi. Berdasarkan hal ini jelas bahwa sistem emas dan perak tidak menyebabkan inflasi. Berbeda dengan sistem mata uang kertas yang makin bertambah keterbatasannya.
5. Sistem emas dan perak akan memperlancar nilai tukar di antara mata uang asing dengan stabil. Karena setiap mata uang asing diukur dengan satuan tertentu dari emas dan perak. Dengan demikian dunia secara keseluruhan akan memiliki mata uang tunggal yang hakiki dari emas atau perak, walaupun mata uangnya berbeda-beda. Dunia akan menjalani perdagangan bebas, kelancaran peredaran barang dan harta di berbagai negara di seluruh dunia, kesulitan-kesulitan dengan pecahan uang dan mata uang berkurang. Hal ini mampu memajukan perdagangan internasional. Para pedagang tidak lagi khawatir dengan meluasnya perdagangan luar negeri, karena nilai tukar (mata uang) stabil.
6. Sistem emas dan perak mampu memelihara kekayaan emas dan perak setiap negara. Tidak akan terjadi pelarian emas dan perak dari suatu negeri ke negeri lainnya. Negara tidak memerlukan alat kontrol untuk menjaga (cadangan) emas dan peraknya, karena kedua jenis uang itu (emas dan perak) tidak akan berpindah kecuali untuk pembayaran (harga) barang atau upah para pekerja.
Faedah-faedah ini hanya ada pada sistem mata uang logam tunggal, baik itu emas atau perak, maupun pada sistem mata uang dua logam, emas dan perak. Selain itu sistem mata uang dua logam akan meningkatkan volume kaedah (mata uang) dua logam, sehingga menyebabkan penampakkan total mata uang menjadi lebih besar. Hal ini memungkinkan negara untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap mata uang dengan mudah dan leluasa, karena fleksibilitasnya yang tinggi. Demikian juga menjadikan kekuatan daya beli hanya untuk satu sistem mata uang, sehingga dapat meningkatkan harga (nilai mata uang) hingga derajat yang paling tinggi, serta stabilitasnya terjamin.
Inilah keistimewaan dan berbagai faedah dari kaedah emas dan perak, meski bukan berarti luput dari berbagai permasalahan. Seperti, adanya penimbunan yang sangat besar, adanya hambatan-hambatan perbatasan (negara), terkonsentrasinya cadangan-cadangan (emas dan perak) yang sangat besar di negara-negara besar dan di negara-negara yang kemampuan produksinya sangat tinggi, mempunyai kemampuan bersaing di dalam perdagangan internasional, memiliki keunggulan di kalangan para pakar, teknisi dan insinyurnya, dan menerapkan sistem mata uang kertas biasa sebagai pengganti sistem mata uang emas dan perak.
Kegagalan negara yang menerapkan kaidah emas dan perak dalam menye-lesaikan rintangan dan permasalahan tersebut -terutama karena masih adanya negara-negara besar dan negara-negara yang memiliki pengaruh dalam perdagangan internasional yang berjalan tidak dengan kaedah emas dan perak-, hal ini mengharuskan negara untuk menjalankan politik swasembada, mengurangi impor, dan menjalankan pertukaran barang yang diimpornya dengan barang yang ada (di dalam negeri), bukan (membayarnya) dengan emas maupun perak. Melakukan penjualan barang (ekspor) yang ada (ditukar/dibayar) dengan barang yang negara perlukan, atau dengan emas dan perak, atau mata uang yang dibutuhkan negara untuk (membayar) impor barang yang diperlukannya, baik berupa barang maupun jasa.
Lebih dari itu, negara menjalankan kaedah (sistem mata Uang) dua logam –emas dan perak- akan menghindarkan penetapan nilai tukar yang fixed antara satuan (mata uang) emas dan satuan (mata uang) perak. Negara akan membiarkan nilai tukar mengikuti pergerakan harga. Sebab, penetapan nilai tukar secara fixed antara dua mata uang ini –yaitu emas dan perak- akan diikuti dengan munculnya mata uang gelap (pasar gelap) yang mengakibatkan naiknya nilai mata uang tersebut di pasar dibandingkan dengan nilai mata uang tersebut yang (ditetapkan oleh) undang-undang di dalam peredaran. Akibatnya satuan mata uang itu (nilainya) akan jatuh (murah). Mata uang yang (nilainya) murah akan tersingkir oleh mata uang yang kuat di dalam peredaran.
Sumber :kitab al amwal fiddaulatil khilafah (الأموال في دَوْلة الخلافة) ; Syekh Abdul Qadim Zallum (amir ke-2 Hizbut Tahrir)

Rabu, 15 Oktober 2008

Melawan Kapitalisasi BBM

Oleh Tri Martha Herawati

Pemerintah berani mengambil keputusan yang sangat tidak populis bagi rakyat dengan menaikkan harga BBM. Mengacu pada kenaikan harga BBM tahun 2005 dengan kenaikan 50% pada Maret dan 100% pada Oktober berimbas meningkatnya angka kemiskinan 4 juta jiwa lebih, dari 35 juta penduduk miskin sebelumnya. Belum lagi imbas ke dunia usaha, kenaikan harga BBM akan memukul kelompok usaha kecil dengan mengurangi produksi dan efisiensi tenaga kerja. Akibatnya PHK karyawan akan semakin marak dan menambah jumlah pengangguran menjadi 10,55 juta orang. Gejolak harga tidak akan bisa dihindari, imbasnya daya beli masyarakat akan menurun karena semakin minimnya pendapatan.

Menaikkan harga BBM dan mengambil resiko memperpanjang penderitaan rakyat, seharusnya bukan menjadi pilihan pemerintah. Bukankan tugas pemerintah adalah mengelola urusan umat untuk kemakmuran yang merata dan menyeluruh? Untuk apa ada pemerintah jika hanya menciptakan kesengsaraan baru bagi rakyat? Kenaikan harga BBM yang terus terjadi diantaranya dipicu keberadaan Undang-undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas dari sektor hulu sampai ke hilir. Karena itu sejak pemberlakuan Undang-undang Migas banyak korporasi asing yang menguasai sektor hulu dan sekarang merambah sektor hilir.

Undang-undang migas telah mengebiri kekuasaan negara untuk mengelola sumber daya alam minyak dan gas. Peran negara dipangkas sedemikian rupa sehingga hanya menjadi regulator. Meski secara formal negara masih diakui sebagai penguasa migas tapi sekedar sebagai pemegang kuasa pertambangan. Dengan kuasa pertambangan, pemerintah menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dengan membentuk Badan Pelaksana. Badan pelaksana ini hanya berfungsi melakukan pengawasan pada kegiatan usaha di hulu sementara pelaksana langsung dari kegiatan usaha hulu ini adalah Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap yang didasarkan kontrak kerjasama dengan Badan Pelaksana. Ketentuan ini jelas aneh karena negara tidak menyelenggarakan eksplorasi dan eksploitasi dan ’dipaksa’ menyerahkan pada pihak lain yaitu BUMN dan BUMD. Tapi kedua badan usaha ini hanya berlaku sebagai pelaku usaha yang kedudukannya sejajar dengan swasta dan korporasi asing. Disamping itu pemerintah tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menentukan harga BBM karena semua diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah juga tidak boleh memberi subsidi. Sehingga pilihannya adalah menghapus subsidi harga BBM dari pasaran. Dampak dari semua itu adalah korporasi asing masuk dan merajai migas di sektor hulu. Sebutlah Chevron Pacific Indonesia, TOTAL, Exspan, Conocophilips, Petrocina, Vico, Exxon Mobile dan korporasi asing lainnya yang menguasai 90% produksi minyak bumi Indonesia. Pertamina sendiri hanya memproduksi 48.400 barel per hari atasu 4,42% dari total produksi 1.094.500 barel per hari.

Sebenarnya menaikkan harga BBM bukanlah langkah akhir untuk ’menyelamatkan’ keuangan negara karena melambungnya harga minyak dunia yang nyaris menembus US$ 120 per barel. Masih ada cara lain yang bisa ditempuh, selain mengambil jalan pintas dengan menaikkan harga BBM. Pertama, mengubah undang-undang migas yang mengebiri kedaulatan negara dalam penguasaan migas dan justru berpihak pada korporasi asing untuk menguasai migas Indonesia. Semua jenis tambang harus dikuasasi dan dikelola oleh negara. Jika APBN tidak mampu untuk membiayai eksplorasi dan ekploitasi migas negara bisa mendorong diantara penduduk Indonesia yang mampu untuk berpartisipasi dengan sistem pinjaman cuma-cuma. Peluang korporasi asing masuk untuk berinvestasi harus dipastikan tidak akan mengancam kepentingan negara dalam hal ini merugikan rakyat. Kedua, negara harus mempunyai misi melayani kebutuhan rakyat bukan bisnis atau dagang. Karena itu pemerintah seharusnya tidak pernah berpikir mencari untung dari penjualan minyak domestik. Ketiga, untuk mengatasi pembengkakan APBN dengan menghemat belanja negara. Sebenarnya ini sudah dilakukan pemerintah yakni dengan memotong anggaran untuk kementrian dan lembaga sebagai kompensasi kenaikan subsidi BBM. Penghematan seperti itu harusnya dilakukan juga oleh semua propinsi dan kabupaten/kota. Keempat, memanfaatkan dana APBD yang mengendap di Bank Indonesia dalam bentuk SBI yang bunganya jelas membebani pemerintah sendiri. Terhitung tahun 2007 saja dana APBD yang mengendap mencapai 146 triliun rupiah. Selain itu APBD juga banyak surplus yang cukup besar. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk mengurangi beban APBN. Kelima, pemerintah harus menangguhkan pembayaran cicilan utang luar negeri. Tahun 2008 ini saja tercatat pembayaran utang plus bunga mencapai Rp 151, 2 triliun. Keenam, pemerintah harus berani memotong rantai broker dalam ekspor dan impor minyak yang dilakukan pertamina.

Berangkat dari berbagai persoalan tentang migas ini, akar masalahnya adalah karena penerapan sistem kapitalis global dalam pengelolaan migas maupun sistem ekonomi dan sosial. Penerapan kapitalisme global ini telah menghisap habis kekayaan alam Indonesia melalui beragam undang-undang yang merugikan negara dan lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Karena itu harus diambil langkah berani untuk melepaskan diri dari jerat kapitalis global dan memberlakukan sebuah sistem yang baik, yang bersumber pada syariah Islam.

Ancaman Liberalisasi Listrik

Oleh Tri Martha Herawati

Krisis listrik kian merata se Jawa dan Bali. Dampaknya sangat nyata, bukan hanya berpengaruh pada aktivitas rumah tangga tapi lebih jauh telah mempengaruhi kegiatan industri. Bahkan lima menteri sepakat mengeluarkan Surat Keputusan Bersama tentang Pengoptimalan Beban Listrik melalui Pengalihan Waktu Kerja pada Sektor Industri. Menurut wakil presiden, pengaturan SKB 5 menteri itu bisa menghemat 500-600 MW. Bahkan tahun depan mulai Maret, Juni, Juli hingga Desember akan masuk 2.000 MW daya listrik menambah pasokan daya listrik bagi PT PLN. ”Kalau kita bisa menghemat 600 MW, total kita punya tambahan 2.600 MW atau sekitar 15 persen. Jika proyek 10.000 MW selesai, maka berarti kita punya cadangan 25 persen,” kata Wapres (kompas.com 14/7/2008).
Penghematan listrik yang dicanangkan pemerintah berbanding terbalik dengan produktivitas sektor industri. Sejak dilakukan pemadaman bergiliran, sektor industri mulai menghitung beban kerugian yang harus ditanggung. Berdasarkan perhitungan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, kerugian akibat pemadaman listrik mencapai Rp 15 miliar (tempointeraktif.com 2/6/2008). Bahkan Kantor Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Barat memperkirakan kerugian industri akibat pemadaman listrik mencapai 30 miliar per hari (suarapembaharuan.com 11/7/2008). Humas PT PLN Wilayah DKI Jakarta dan Tangerang, Azwar Lubis mengatakan besar kemungkinan pemadaman bergilir ini akan berlangsung hingga 2010 sampai pembangkit listrik Rembang dan Indramayu diaktifkan (Metrotvnews.com 8/7/2008).
Krisis listrik dipicu misinvestasi yang terjadi di tubuh PLN. Banyak jaringan dan alat-alat yang sudah tua karena minimnya investasi. Akibatnya dipilih pemadaman bergiliran yang merugikan masyarakat. Saat ini, PLN bukan lagi pemain tunggal dalam kelistrikan. Liberalisasi sektor listrik mengancam di depan mata, kalau krisis ini tak kunjung reda, atau memang sengaja dikondisikan demikian. Sebenarnya akar masalah kelistrikan di negeri ini terletak pada investasi ala kapitalis, selain persoalan korupsi yang telah tersistem dan kurangnya efisiensi dalam pengelolaan.
Menuju era pasar bebas 2010, PLN akan terseret pada pengeloaan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Inilah ajaran inti dari ekonomi kapitalis. Layaknya perusaan milik negara lainnya, PLN pun terancam diprivatisasi dan menjadi milik swasta asing. Paradigma sistem ekonomi kapitalis nampaknya harus diubah. Karena setiap kekayaan sumber daya energi tidak bisa dimiliki perseorangan atau suatu perusahaan tertentu. Status kepemilikan sumber daya energi harusnya mengacu pada kepemilikan umum yang menetapkan negara sebagai wakil rakyat untuk melakukan pengelolaan, mengatur produksi dan mendistribusikannya untuk kepentingan rakyat. Negara bukan pemilik yang berwenang penuh memperjualbelikan kepemilikan umum atas sumber daya energi dengan alasan investasi. Dalam konteks rakyat menguasai sumber daya energi, negara tidak selayaknya memperlakukan seperti jual beli pada pemilik sumber daya energi. Ini logika yang salah, tapi lazim digunakan sistem kapitalis untuk kepentingan para pemilik modal. Tidak selayaknya sumber daya energi listrik menjadi komoditas jual beli antara negara dengan rakyat. Karena menjadi kewajiban negara untuk mengelolanya dan hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Memberi peluang investasi pada pemodal asing sehingga mampu menguasai sumber energi listrik dapat dikatagorikan sebagai pengabaian amanah yang diberikan rakyat kepada negara dalam mengelola sumber energi. Bahkan penguasa telah melakukan kedzaliman. Memang tidak bisa dipungkiri, kesalahan tidak sepenuhnya terjadi pada PLN selaku pengelola listrik. Tapi neo-liberalisme dan kapitalisme global yang sampai saat ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia inilah yang membuat krisis energi semakin berlarut-larut. Belum tuntas masalah BBM, krisis listrik mendera, setelah itu entah apalagi.

Solusi Islam atas krisis listrik

Dalam pandangan Islam, sumberdaya energi termasuk listrik merupakan kepemilikan umum. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.:

Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api. (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).

Kepemilikan umum dari hadis tersebut diartikan sebagai jumlah yang besar (yakni seperti air yang mengalir). Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

Ia datang kepada Rasulullah saw. meminta (tambang) garam. Beliau lalu memberikannya. Setelah ia pergi ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah saw. pun menarik kembali tambang itu darinya.” (HR Abu Dawud).
Berdasarkan kedua hadis tersebut, sumberdaya energi termasuk dalam kepemilikan umum. Hal ini karena ada dua aspek yang melatarbelakangi, yaitu termasuk dalam kata api serta tersedia dalam jumlah besar. Karena sumberdaya energi termasuk dalam kepemilikan umum. Itu sebabnya sumberdaya energi menjadi industri milik umum. Dalam Islam, kepemilikan industri meliputi kepemilikan modal, alat produksi, bahan baku, pengelolaan, dan hasil produksi. Dalam konsep Islam, pemilik dari industri adalah rakyat. Negara menjadi wakil rakyat dalam kepemilikan industri milik umum. Karena itu negara sebagai wakil umat harus memiliki modal, alat produksi, bahan baku, dan hasil produksi. Dengan demikian, industri yang bergerak di sektor kepemilikan umum harus berupa BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Adapun keterlibatan swasta dalam kepemilikan industri milik umum tidak dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW : ”Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya”. (HR Abu Dawud).
Pertanyaan yang muncul kemudian, sanggupkah negara memikul semua beban keuangan bagi pendanaan industri milik umum. Hal ini sangat mungkin dilakukan asal paradigma pengelolaan sumber energi berubah dari sistem kapitalis menggunakan sistem Islam. Dalam pengelolaan sumber energi, negara menerima secara penuh semua penghasilan dari industri-industri tersebut, bukan lagi berbagi keuntungan. Jumlah ini tentunya sangat besar bahkan berlebih, sehingga bisa digunakan untuk mendanai berbagai kepentingan lainnya seperti pendidikan, pelayanan kesehatan dan pembangunan sarana serta prasarana umum.

Demokrasi : Mahal dan Kufur

Oleh Tri Martha Herawati


Tak henti-hentinya pesta demokrasi berlangsung di Indonesia. Sepanjang tahun di negeri ini berlangsung pemilihan kepala desa, bupati, walikota, gubernur, sampai presiden, juga anggota legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari tingkat kabupaten, kota, propinsi dan pusat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Daerah. Untuk melangsungkan sebuah pesta demokrasi, membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan anggaran pembangunan dan belanja nasional maunpun daerah harus terkuras untuk membiayai pesta ini.

Menurut data yang dikeluarkan KPU, biaya pemilihan umum 2009 diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp 48 trilyun. Untuk Pilkada kisaran biayanya juga fantastis, tengok saja biaya Pilkada DKI tahun lalu, sebesar 124 milyar. Di Jawa Timur lebih fantastis lagi, karena terjadi dalam dua putaran anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 800 milyar lebih. Menurut hasil penelusuran Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), pilkada di seluruh Indonesia telah berlangsung sebanyak 350 pilkada. Jika kita asumsikan biaya Pilkada yang dikeluarkan untuk masing-masing daerah sebesar 70 Milyar, maka total dana pelaksanaan demokrasi ini telah menelan biaya hampir 25 Trilyun.

Biaya pemilu ini belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan setiap calon kepala daerah, calon presiden maupun calon anggota legislative untuk partai. Seorang calon anggota legislatif ‘diwajibkan’ membayar Rp 200-300 juta untuk “kursi jadi”, nomor urut satu dan dua. Sedangkan untuk calon anggota DPR harus menyerahkan setoran uang Rp 400 juta. Setiap caleg juga diharuskan membayar biaya administrasi Rp 16 juta untuk pengganti biaya administrasi (kabarindonesia.com,7/10/2008). Belum lagi biaya kampanye. Untuk iklan di televisi misalnya jika rata-rata biaya beriklan secara excessive di sebuah stasiun TV per harinya adalah Rp 500 juta, maka per bulan adalah Rp 15 milyar. Sutrisno Bachir dan Rizal Malarangeng adalah contoh dua calon yang beriklan di TV secara excessive. Itu hanya untuk satu stasiun TV saja. Silahkan kalikan dengan 10 stasiun TV, misalnya. Angka ini hanya untuk di media TV, belum termasuk media lain seperti, radio, internet, bioskop, baliho, spanduk, bendera, kalender, brosur, kaos, dan material kampanye lainnya.

Jumlah biaya demokrasi itu tidak sebanding dengan biaya kesejahteraan rakyat yang dialokasikan dalam APBN. Susilo Bambang Yudoyono Presiden RI pernah membandingkan biaya demokrasi dengan anggaran untuk pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dalam APBN. Biaya dialokasikan di APBN untuk pengurangan kemiskinan di seluruh negeri, tahun 2004 sebesar Rp 17 trilyun, tahun 2005 naik Rp 24 trilyun, 2006 Rp 41 trilyun, dan tahun 2007 Rp 57 trilyun.

Dengan biaya pesta demokrasi yang sangat besar itu, benarkah mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas dan mampu mensejahterakan rakyat? Nampaknya kita masih harus menerima kenyataan, dari biaya demokrasi yang sangat mahal itu, tidak menjamin akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Pemimpin yang dihasilkan dari proses demokrasi itu ternyata justru menguras uang rakyat dengan melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan karena para pemimpin ini sebelum menduduki kursinya sudah mengeluarkan ’biaya investasi’ yang cukup besar. Ketika mereka menduduki kursi yang diinginkan, maka saatnya investasi yang ditanam kini dituai dari dana APBN maupun APBD.

Said Amin, peneliti program The World Bank untuk kasus penanganan korupsi pemerintah tingkat lokal mengatakan, sampai Mei 2007 lalu, 967 anggota DPRD dan 61 kepala daerah terlibat tindak pidana korupsi. Para anggota DPRD dan kepala daerah dalam proses hukumnya kini ada yang masih tersangka, terdakwa dan ada pula telah divonis bersalah sebagai terpidana. Saat ini tercatat 159 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah terjadi di Indonesia, jumlah kerugian negara yang diakibatkan kasus korupsi itu mencapai Rp 3 triliun (kapanlagi.com, 31/5/2007).

Demokrasi bukan hanya menguras uang rakyat dengan membutuhkan biaya yang mahal tapi juga menghasilkan sistem yang rusak. Abdul Qodim Zallum dalam bukunya Demokrasi Sistem Kufur menyatakan, ada empat kebebasan yang dilahirkan oleh demokrasi yang berdampak pada kerusakan:

1. Kebebasan Beragama (freedom of religion)

Konsep kebebasan beragama, justru merendahkan derajat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Kebebasan beragama berarti seseorang berhak meyakini suatu aqidah yang dikehendakinya atau memeluk agama yang disenanginya. Dia berhak meninggalkan aqidah yang diyakininya dan berpindah pada aqidah baru, agama baru atau kepercayaan non agama seperti animisme dan dinamisme. Dia juga berhak berpindah agama sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan dan paksaan.

Dampak dari kebebasan beragama, justru memunculkan aliran-aliran sesat dan nabi-nabi palsu. Di Amerika, negara pengemban demokrasi banyak lahir ajaran agama selain Kristen. Sebut aja ada Klu Klux Klan, sekte Charles Manson terkenal di tahun 60-an karena melakukan pembunuhan terhadap sejumlah wanita termasuk seorang aktris terkenal. Ada juga sekte Temple’s People yang dipimpin pendeta Jim Jones. Muncul juga nabi bernama David Koresh yang kemudian melakukan baku tembak dengan polisi federal AS (FBI), dan terakhir adalah sekte Gerbang Surga yang melakukan aksi bunuh diri massal di tahun 1997.

Agama-agama baru itu lahir dengan restu demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Selama demokrasi dan HAM masih dipuja-puja, maka di masa mendatang akan terus berdatangan agama-agama baru dan nabi-nabi palsu. Kedatangan mereka bahkan akan dilindungi negara atas nama hak asasi manusia. Kalau nabi palsu dihujat karena membawa aliran sesat, seharusnya demokrasi dan HAM juga dihujat karena justru melindungi aliran-aliran sesat.

Padahal Allah SWT telah menegaskan dalam surat Al Maidah ayat 3 :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmatKu, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian.”

Dalam HR Muslim dan Ashhabus Sunan, Rasulullah SAW bersabda :

“Barang siapa mengganti agamanya (Islam) maka jatuhkanlah hukuman mati atasnya.”

Sehingga upaya-upaya untuk melanggengkan sistem demokrasi yang menjamin kebebasan beragama sangat bertentangan dengan aturan syara’. Karena Allah SWT hanya mencukupkan Islam sebagai agama yang terbaik.

2. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)

Kebebasan berpendapat melahirkan pendapat-pendapat yang tidak mendasarkan pada standar halal haram. Pendapat yang liberal dan justru menjauhkan dari syariah dibebaskan. Tapi sebaliknya, pendapat-pendapat yang mengajak umat untuk kembali pada hukum-hukum Allah dan menegakkan kekhilafahan Islam, justru diberangus. Kebebasan berpendapat hanya diberikan untuk dukungan pada kebebasan itu sendiri tanpa aturan.

Bahkan atas nama kebebasan berpendapat, koran Nerikes Allehanda, Swedia, pada 18 Agustus 2007 lalu memuat kartun Nabi Muhammad dengan kepala manusia berserban dan tubuh seekor anjing. Masih atas nama kebebasan berpendapat, George Walker Bush mengajak pemimpin muslim untuk memerangi kembalinya syariah dan khilafah. ”We should open new chapter in the fight againts enemies of freedom, againts who in the beginning of XXI century call muslims to restore caliphate and to spread sharia”(kita harus membuka bab baru perang melawn musuh kebebasan, melawan orang-orang yang di awal abad ke 21 menyerukan kaummuslim untuk mengembalikan khilafah dan menyebarluaskan syariah) (www.demaz.org)

Dalam Islam, kekebasan berpendapat tidaklah mutlak, tapi didasarkan aturan syara’. Seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat Al Ahzab 36 :

“Dan tidaklah patut bagi laki0laki yang mukmin, Apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”

Di ayat yang lain Allah memperingatkan dalam surat An Nisa 59 :

“Kemudian jika kalian (rakyat dan penguasa) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.”

3. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)

Ide kebebasan atas kepemilikan melahirkan para kapitalis. Kapitalisme juga melahirkan koruptor-koruptor yang menghalalkan segala cara untuk mengejar materi duniawi. Siapa memiliki modal, bisa berkuasa atas sesuatu termasuk sumber daya alam yang sebenarnya menjadi hajat hidup orang banyak. Misalnya, atas nama kebebasan kepemilikan, hak pengelolaan hutan, air, minyak, dan kekayaan alam lainnya diserahkan pada pihak-pihak tertentu. Karenanya rakyat tidak mendapat porsi yang seharusnya, tapi hanya menjadi penonton segelintir orang yang mengeruk kekayaan alam.

Ironisnya pemerintah justru memfasilitasi kebebasan kepemilikan ini dengan sejumlah aturan yang menjamin kebebasan kepemilikan atas sumber daya alam. Misalnya dengan menetapkan UU Penanaman Modal Asing, UU Sumber Daya Alam, dan lain-lain.

Atas nama kebebasan kepemilikan, negara-negara kapitalis berebut menguasai sumber daya alam negara lain. Akibatnya, rakyat menjadi korban krisis bahkan pertumpahan darah tak bisa dihindari. Seperti yang terjadi di negara-negara Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika, Asia, termasuk Indonesia.

Ajaran Islam sangat bertolak belakang dengan kebebasan kepemilikan. Islam memerangi ide penjajahan dan perampokan kekayaan bangsa-bangsa lain di dunia. Islam telah menetapkan sebab-sebab kepemilikan harta, pengembangannya dan cara-cara pengelolaannya. Islam tidak memberikan kebebasan pada individu untuk sebebas-bebasnya mengelola harta yang dikehendakinya. Islam mengikat dengan hukum syara’ misalnya larangan memiliki harta dengan cara-cara yang batil. Harta yang diperoleh dengan cara batil, pada pelakunya akan dikenai sanksi.

4. Kebebasan Berperilaku (personal freedom)

Kebebasan berperilaku sebenarnya telah merendahkan martabat umat. Ide ini telah menyeret orang pada perilaku yang serba boleh. Misalnya berjemur sambil menunggu matahari terbit tanpa berpakaian. Perilaku seksual yang menyimpang suka sesama jenis, pemuasan seksual pada anak-anak ataupun pada binatang. Dampak kebebasan perilaku, kasus perzinahan semakin merajalela, demikian pula aborsi, narkoba dan angka penderita HIV AIDS yang tidak pernah menurun karena bebas berperilaku.

Dalam sistem demokrasi, institusi keluarga telah dihancurkan. Rasa kasih sayang telah dicabut dari para anggota keluarga. Karena itu, menjadi pemandangan biasa di negara-negara barat, kehidupan single parent atau orang yang tinggal sendiri dan hanya ditemani binatang kesayangan.

Hukum Islam sangat bertentangan dengan kebebasan bertingkah laku. Tidak ada kebebasan bertingkah laku di dalam Islam. Setiap muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT. Jika seorang muslim melanggar perintah syara’ maka ia telah berdosa dan akan dijatuhi hukuman yang sangat keras.

Islam memerintahkan setiap muslim berakhlaq mulia dan terpuji. Menjadikan masyarakat sebagai masyarakat Islam yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan nilai-nilai kemuliaan.

Demikianlah demokrasi menghancurkan umat dengan kebebasan yang diagungkan. Ketika manusia membiarkan dirinya tanpa aturan, maka yang terjadi adalah kesengsaraan, kenistaan, dan kebodohan. Lalu mengapa demokrasi masih dibanggakan?

Haram Mengadopsi Sistem Kufur Demokrasi

Seluruh perbuatan manusia dan seluruh benda-benda yang digunakannya dan atau berhubungan dengan perbuatan manusia, hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah SAW dan terikat dengan hukum-hukum risalahNya. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr ayat 7 :

”Apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepadamu maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah.”

”Maka demi TuhanMu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan.”(QS An Nisaa’ 65)

”Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.”

”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul(Nya).

Sabda Rasulullah SAW :

”Siapa saja yang melaksanakan perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka parbuatan itu tertolak.” (HR Muslim). Dalam hadis lain Rasulullah bersabda, ”Siapa saja yang mengada-adakan urusan (agama) kami ini, sesuatu yang berasal darinya, maka hal itu tertolak.”

Dalil-dalil ini menunjukkan wajib hukumnya mengikuti syara’ dan terikat dengannya. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah untuk perbuatan itu. Apakah hukumnya wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Allah juga melarang kaum muslimin mengambil hukum selain hukum dari syariat Islam. Allah berfirman: ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada toghut (hukum dan undang-undang kufur), padahal mereka telah diperintahkan mengingkari toghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An Nisaa 60).

Berdasarkan penjelasan nash dan hadis maka kaum muslimin dilarang mengambil peradapan/kultur Barat, dengan segala aturan dan undang-undangnya. Sebab peradapan tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Kecuali peraturan dan perundang-undangan yang administratif yang bersifat mubah dan boleh diambil. Sebagaimana Umar Bin Khatab telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari Persia dan Romawi.

Hal ini karena peradaban Barat itu memisahkan agama dengan kehidupan dan memisahkan agama dari negara. Peradaban Barat dibangun atas asas manfaat dan menjadikannya sebagai tolok ukur perbuatan. Sedangkan peradaban Islam didasarkan pada Aqidah Islamiyah yang mewajibkan pelaksanaannya dalam kehidupan bernegara berdasarkan perintah dan larangan Allah, yakni hukum-hukum syara’. Peradaban Islam berdiri atas landasan spiritual yakni iman kepada Allah dan menjadikan prinsip halal haram sebagai tolok ukur seluruh perbuatan manusia berdasarkan perintah dan larangan Allah.

Peradaban Barat menganggap kebahagiaan adalah yang memberikan kenikmatan jasmani yang sebesar-besarnya kepada manusia dan segala sarana untuk memperolehnya. Sementara peradaban Islam menganggap kebahagiaan adalah teraihnya ridla Allah SWT, yang mengatur pemenuhan naluri dan jasmani manusia berdasarkan hukum syara’.

Atas dasar itulah, kaum muslimin tidak boleh mengambil sistem demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, sistem kebebasan individu yang ada di negeri-negeri Barat. Karena itu kaum muslimin tidak boleh mengambil konstitusi dan undang-undang demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan republik, bank-bank riba, sistem bursa dan pasar uang internasional. Kaum muslimin tidak boleh mengambil semua hukum dan peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan undang-undang kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan peraturan Islam.

Syariah untuk Kepentingan Rakyat

Mengutip tulisan Budi Mulyana, dosen FISIP UNIKOM Bandung, syariah Islam berbeda dengan demokrasi. Dalam tataran individu, syariah Islam mendidik individu agar bertakwa. Keinginan untuk melakukan pelanggaran syariah akan diminimalkan dengan nilai-nilai ketakwaan yang ditanamkan. Pribadi-pribadi yang salih akan terbentuk dengan keimanan bahwa hidup tidak hanya di dunia, tetapi ada pertanggungjawaban di akhirat yang akan menghisab apa yang dilakukan di dunia.

Dalam tataran sistem, Islam sebagai risalah ilahi yang sempurna akan menjamin kemaslahatan (rahmat) bagi semua pihak, bahkan bagi seluruh alam. Dalam konteks kesejahteraaan, Islam membagi bumi Allah dengan kepemilikan individu, masyarakat dan negara dengan tepat sesuai dengan realitas faktanya. Dengan begitu, kebutuhan pribadi dapat dijamin; keinginan untuk menikmati kebahagiaan duniawi juga tetap bisa dilakukan; penyelenggaraan kehidupan masyarakat yang menjamin hajat hidup orang banyak pun dapat dipastikan dijamin oleh negara.

Islam memberikan jaminan kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga Negara Islam. Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya maupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk pada perintah dan larangan Allah Swt., memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berpikir Islami, serta memiliki keterampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat. Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik sekolah universitas, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum. Rasulullah saw. menerima tebusan tawanan Perang Badar dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum Muslimin di Madinah. Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Qibti Mesir, lalu oleh Beliau dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat secara gratis (Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah; Abdul Aziz al-Badri, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Islam).

Dengan jaminan tersebut, pendidikan, kesehatan dan keamanan sudah dapat dipastikan dijamin oleh negara dengan alokasi pendanaan yang jelas, tanpa perlu lagi persetujuan wakil rakyat yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik individu, partai juga para pemilik modal yang haus terhadap harta milik masyarakat.

Jelaslah, syariah Islam adalah jawaban atas krisis dan kebuntuan yang terjadi selama ini. Jika kita ingin mengambil jalan keluar maka kita mesti tunduk dan takut kepada Allah Swt. serta bersungguh-sungguh kembali pada pelaksanaan syariah-Nya. Insya Allah, jalan keluar dan berkah Allah akan segera terbuka. Allah Swt. berfirman: ”Siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar” (QS at-Thalaq [65]: 3).

Allah Swt. juga berfirman: ”Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka karena perbuatan mereka itu” (QS al-A’raf [7]: 96).

Alangkah ruginya negara ini, jika biaya besar yang telah dikorbankan untuk membiayai hajatan pesta demokrasi ternyata tidak menjamin kualitas pemimpin yang tebaik. Maka kegiatan ini hanya sia-sia belaka. Demokrasi jelas-jelas telah menyita pengorbanan rakyat sementara rakyat tidak memperoleh kesejahteraan tapi justru menuai kemiskinan. Sebaliknya, syariah Islam telah menjamin kesejahteraan rakyat. Penjaminnya adalah Allah SWT. Syariah Islam hanya bisa diterapkan dengan sistem khilafah.