Rabu, 15 Oktober 2008

Melawan Kapitalisasi BBM

Oleh Tri Martha Herawati

Pemerintah berani mengambil keputusan yang sangat tidak populis bagi rakyat dengan menaikkan harga BBM. Mengacu pada kenaikan harga BBM tahun 2005 dengan kenaikan 50% pada Maret dan 100% pada Oktober berimbas meningkatnya angka kemiskinan 4 juta jiwa lebih, dari 35 juta penduduk miskin sebelumnya. Belum lagi imbas ke dunia usaha, kenaikan harga BBM akan memukul kelompok usaha kecil dengan mengurangi produksi dan efisiensi tenaga kerja. Akibatnya PHK karyawan akan semakin marak dan menambah jumlah pengangguran menjadi 10,55 juta orang. Gejolak harga tidak akan bisa dihindari, imbasnya daya beli masyarakat akan menurun karena semakin minimnya pendapatan.

Menaikkan harga BBM dan mengambil resiko memperpanjang penderitaan rakyat, seharusnya bukan menjadi pilihan pemerintah. Bukankan tugas pemerintah adalah mengelola urusan umat untuk kemakmuran yang merata dan menyeluruh? Untuk apa ada pemerintah jika hanya menciptakan kesengsaraan baru bagi rakyat? Kenaikan harga BBM yang terus terjadi diantaranya dipicu keberadaan Undang-undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas dari sektor hulu sampai ke hilir. Karena itu sejak pemberlakuan Undang-undang Migas banyak korporasi asing yang menguasai sektor hulu dan sekarang merambah sektor hilir.

Undang-undang migas telah mengebiri kekuasaan negara untuk mengelola sumber daya alam minyak dan gas. Peran negara dipangkas sedemikian rupa sehingga hanya menjadi regulator. Meski secara formal negara masih diakui sebagai penguasa migas tapi sekedar sebagai pemegang kuasa pertambangan. Dengan kuasa pertambangan, pemerintah menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dengan membentuk Badan Pelaksana. Badan pelaksana ini hanya berfungsi melakukan pengawasan pada kegiatan usaha di hulu sementara pelaksana langsung dari kegiatan usaha hulu ini adalah Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap yang didasarkan kontrak kerjasama dengan Badan Pelaksana. Ketentuan ini jelas aneh karena negara tidak menyelenggarakan eksplorasi dan eksploitasi dan ’dipaksa’ menyerahkan pada pihak lain yaitu BUMN dan BUMD. Tapi kedua badan usaha ini hanya berlaku sebagai pelaku usaha yang kedudukannya sejajar dengan swasta dan korporasi asing. Disamping itu pemerintah tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menentukan harga BBM karena semua diserahkan pada mekanisme pasar. Pemerintah juga tidak boleh memberi subsidi. Sehingga pilihannya adalah menghapus subsidi harga BBM dari pasaran. Dampak dari semua itu adalah korporasi asing masuk dan merajai migas di sektor hulu. Sebutlah Chevron Pacific Indonesia, TOTAL, Exspan, Conocophilips, Petrocina, Vico, Exxon Mobile dan korporasi asing lainnya yang menguasai 90% produksi minyak bumi Indonesia. Pertamina sendiri hanya memproduksi 48.400 barel per hari atasu 4,42% dari total produksi 1.094.500 barel per hari.

Sebenarnya menaikkan harga BBM bukanlah langkah akhir untuk ’menyelamatkan’ keuangan negara karena melambungnya harga minyak dunia yang nyaris menembus US$ 120 per barel. Masih ada cara lain yang bisa ditempuh, selain mengambil jalan pintas dengan menaikkan harga BBM. Pertama, mengubah undang-undang migas yang mengebiri kedaulatan negara dalam penguasaan migas dan justru berpihak pada korporasi asing untuk menguasai migas Indonesia. Semua jenis tambang harus dikuasasi dan dikelola oleh negara. Jika APBN tidak mampu untuk membiayai eksplorasi dan ekploitasi migas negara bisa mendorong diantara penduduk Indonesia yang mampu untuk berpartisipasi dengan sistem pinjaman cuma-cuma. Peluang korporasi asing masuk untuk berinvestasi harus dipastikan tidak akan mengancam kepentingan negara dalam hal ini merugikan rakyat. Kedua, negara harus mempunyai misi melayani kebutuhan rakyat bukan bisnis atau dagang. Karena itu pemerintah seharusnya tidak pernah berpikir mencari untung dari penjualan minyak domestik. Ketiga, untuk mengatasi pembengkakan APBN dengan menghemat belanja negara. Sebenarnya ini sudah dilakukan pemerintah yakni dengan memotong anggaran untuk kementrian dan lembaga sebagai kompensasi kenaikan subsidi BBM. Penghematan seperti itu harusnya dilakukan juga oleh semua propinsi dan kabupaten/kota. Keempat, memanfaatkan dana APBD yang mengendap di Bank Indonesia dalam bentuk SBI yang bunganya jelas membebani pemerintah sendiri. Terhitung tahun 2007 saja dana APBD yang mengendap mencapai 146 triliun rupiah. Selain itu APBD juga banyak surplus yang cukup besar. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk mengurangi beban APBN. Kelima, pemerintah harus menangguhkan pembayaran cicilan utang luar negeri. Tahun 2008 ini saja tercatat pembayaran utang plus bunga mencapai Rp 151, 2 triliun. Keenam, pemerintah harus berani memotong rantai broker dalam ekspor dan impor minyak yang dilakukan pertamina.

Berangkat dari berbagai persoalan tentang migas ini, akar masalahnya adalah karena penerapan sistem kapitalis global dalam pengelolaan migas maupun sistem ekonomi dan sosial. Penerapan kapitalisme global ini telah menghisap habis kekayaan alam Indonesia melalui beragam undang-undang yang merugikan negara dan lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Karena itu harus diambil langkah berani untuk melepaskan diri dari jerat kapitalis global dan memberlakukan sebuah sistem yang baik, yang bersumber pada syariah Islam.

Tidak ada komentar: