Rabu, 15 Oktober 2008

Ancaman Liberalisasi Listrik

Oleh Tri Martha Herawati

Krisis listrik kian merata se Jawa dan Bali. Dampaknya sangat nyata, bukan hanya berpengaruh pada aktivitas rumah tangga tapi lebih jauh telah mempengaruhi kegiatan industri. Bahkan lima menteri sepakat mengeluarkan Surat Keputusan Bersama tentang Pengoptimalan Beban Listrik melalui Pengalihan Waktu Kerja pada Sektor Industri. Menurut wakil presiden, pengaturan SKB 5 menteri itu bisa menghemat 500-600 MW. Bahkan tahun depan mulai Maret, Juni, Juli hingga Desember akan masuk 2.000 MW daya listrik menambah pasokan daya listrik bagi PT PLN. ”Kalau kita bisa menghemat 600 MW, total kita punya tambahan 2.600 MW atau sekitar 15 persen. Jika proyek 10.000 MW selesai, maka berarti kita punya cadangan 25 persen,” kata Wapres (kompas.com 14/7/2008).
Penghematan listrik yang dicanangkan pemerintah berbanding terbalik dengan produktivitas sektor industri. Sejak dilakukan pemadaman bergiliran, sektor industri mulai menghitung beban kerugian yang harus ditanggung. Berdasarkan perhitungan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, kerugian akibat pemadaman listrik mencapai Rp 15 miliar (tempointeraktif.com 2/6/2008). Bahkan Kantor Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Barat memperkirakan kerugian industri akibat pemadaman listrik mencapai 30 miliar per hari (suarapembaharuan.com 11/7/2008). Humas PT PLN Wilayah DKI Jakarta dan Tangerang, Azwar Lubis mengatakan besar kemungkinan pemadaman bergilir ini akan berlangsung hingga 2010 sampai pembangkit listrik Rembang dan Indramayu diaktifkan (Metrotvnews.com 8/7/2008).
Krisis listrik dipicu misinvestasi yang terjadi di tubuh PLN. Banyak jaringan dan alat-alat yang sudah tua karena minimnya investasi. Akibatnya dipilih pemadaman bergiliran yang merugikan masyarakat. Saat ini, PLN bukan lagi pemain tunggal dalam kelistrikan. Liberalisasi sektor listrik mengancam di depan mata, kalau krisis ini tak kunjung reda, atau memang sengaja dikondisikan demikian. Sebenarnya akar masalah kelistrikan di negeri ini terletak pada investasi ala kapitalis, selain persoalan korupsi yang telah tersistem dan kurangnya efisiensi dalam pengelolaan.
Menuju era pasar bebas 2010, PLN akan terseret pada pengeloaan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Inilah ajaran inti dari ekonomi kapitalis. Layaknya perusaan milik negara lainnya, PLN pun terancam diprivatisasi dan menjadi milik swasta asing. Paradigma sistem ekonomi kapitalis nampaknya harus diubah. Karena setiap kekayaan sumber daya energi tidak bisa dimiliki perseorangan atau suatu perusahaan tertentu. Status kepemilikan sumber daya energi harusnya mengacu pada kepemilikan umum yang menetapkan negara sebagai wakil rakyat untuk melakukan pengelolaan, mengatur produksi dan mendistribusikannya untuk kepentingan rakyat. Negara bukan pemilik yang berwenang penuh memperjualbelikan kepemilikan umum atas sumber daya energi dengan alasan investasi. Dalam konteks rakyat menguasai sumber daya energi, negara tidak selayaknya memperlakukan seperti jual beli pada pemilik sumber daya energi. Ini logika yang salah, tapi lazim digunakan sistem kapitalis untuk kepentingan para pemilik modal. Tidak selayaknya sumber daya energi listrik menjadi komoditas jual beli antara negara dengan rakyat. Karena menjadi kewajiban negara untuk mengelolanya dan hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Memberi peluang investasi pada pemodal asing sehingga mampu menguasai sumber energi listrik dapat dikatagorikan sebagai pengabaian amanah yang diberikan rakyat kepada negara dalam mengelola sumber energi. Bahkan penguasa telah melakukan kedzaliman. Memang tidak bisa dipungkiri, kesalahan tidak sepenuhnya terjadi pada PLN selaku pengelola listrik. Tapi neo-liberalisme dan kapitalisme global yang sampai saat ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia inilah yang membuat krisis energi semakin berlarut-larut. Belum tuntas masalah BBM, krisis listrik mendera, setelah itu entah apalagi.

Solusi Islam atas krisis listrik

Dalam pandangan Islam, sumberdaya energi termasuk listrik merupakan kepemilikan umum. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.:

Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api. (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).

Kepemilikan umum dari hadis tersebut diartikan sebagai jumlah yang besar (yakni seperti air yang mengalir). Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

Ia datang kepada Rasulullah saw. meminta (tambang) garam. Beliau lalu memberikannya. Setelah ia pergi ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah saw. pun menarik kembali tambang itu darinya.” (HR Abu Dawud).
Berdasarkan kedua hadis tersebut, sumberdaya energi termasuk dalam kepemilikan umum. Hal ini karena ada dua aspek yang melatarbelakangi, yaitu termasuk dalam kata api serta tersedia dalam jumlah besar. Karena sumberdaya energi termasuk dalam kepemilikan umum. Itu sebabnya sumberdaya energi menjadi industri milik umum. Dalam Islam, kepemilikan industri meliputi kepemilikan modal, alat produksi, bahan baku, pengelolaan, dan hasil produksi. Dalam konsep Islam, pemilik dari industri adalah rakyat. Negara menjadi wakil rakyat dalam kepemilikan industri milik umum. Karena itu negara sebagai wakil umat harus memiliki modal, alat produksi, bahan baku, dan hasil produksi. Dengan demikian, industri yang bergerak di sektor kepemilikan umum harus berupa BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Adapun keterlibatan swasta dalam kepemilikan industri milik umum tidak dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW : ”Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya”. (HR Abu Dawud).
Pertanyaan yang muncul kemudian, sanggupkah negara memikul semua beban keuangan bagi pendanaan industri milik umum. Hal ini sangat mungkin dilakukan asal paradigma pengelolaan sumber energi berubah dari sistem kapitalis menggunakan sistem Islam. Dalam pengelolaan sumber energi, negara menerima secara penuh semua penghasilan dari industri-industri tersebut, bukan lagi berbagi keuntungan. Jumlah ini tentunya sangat besar bahkan berlebih, sehingga bisa digunakan untuk mendanai berbagai kepentingan lainnya seperti pendidikan, pelayanan kesehatan dan pembangunan sarana serta prasarana umum.

Tidak ada komentar: