Senin, 24 November 2008

Pupuk Langka Petani Menjerit... Ah itu biasa!


Pupuk Langka Petani Menjerit... Ah itu biasa!
Maksudnya, petani biasa menjeriiiiit karna pupuk langka. Kalau pun sekarang menjerit, itu bukan yg pertama. Bahkan kali ini jeritan petani leboh parah...

Berdasarkan pengamatan, terdapat beberapa faktor penyebab kelangkaan pupuk yang terjadi selama ini. Dua faktor di antaranya adalah (1) Turunnya produksi pupuk akibat kelangkaan pasokan gas, dan (2) Terjadinya penyimpangan distribusi akibat adanya disparitas harga pupuk urea.

Terkait masalah pertama, yaitu kelangkaan pupuk akibat kelangkaan pasokan gas pada industri pupuk, hal ini sangatlah ironis. Pasalnya, gas yang merupakan bahan baku utama pupuk urea, sesungguhnya tersedia dalam jumlah yang sangat melimbah di bumi Indonesia. Bahkan Indonesia termasuk negara produsen gas terbesar di dunia. Namun nyatanya hal ini memang terjadi.

Pada tahun 1970-an, Indonesia memiliki pabrik pupuk PT. Asean Aceh Fertilizer (AAF) di Aceh. Pabrik pupuk tersebut merupakan salah satu kebanggan bangsa Indonesia, yang menjadi “simbol kemandirian” pertanian Indonesia. Namun apa dikata, pada tahun 2000, pabrik pupuk ini terpaksa dilikuidasi karena tidak mendapatkan pasokan gas, setelah PT. Exxon Mobil Oil –perusahaan minyak dari AS– tidak lagi mau menyupli gas. Nasib yang sama juga menimpa PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) II. Selama satu tahun, pabrik pupuk ini tidak beroperasi. Baru mulai beroperasi kembali sekitar pertengah April 2006, setelah mendapatkan pasokan gas dari Exxon Mobil Oil, itu pun hanya sampai Oktober 2006 saja. Sedangkan untuk PIM I, sampai Oktober 2006 tidak mendapat kontrak mengenai pasokan gas, sehingga pabrik tersebut tidak beroperasi.

Pasokan gas ke PT. Pupuk Kujang 1B juga belum ada kepastian. Pabrik Kujang 1B yang baru saja diresmikan Presiden SBY, pada April 2006, ternyata hanya memiliki kontrak pasokan gas selama tiga tahun, yakni 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2006.

Semua ini terjadi bukan karena jumlah produksi gas tidak mencukupi kebutuhan; melainkan, produksi gas yang ada lebih banyak dialokasikan untuk memenuhi kontrak pembelian dari luar negeri, terutama Jepang dan Korea. Alasannya karena harga gas di luar negeri jauh lebih tinggi dibanding dalam negeri.

Di luar negeri harga gas mencapai US$ 9,15 per mmBtu, sedangkan harga gas untuk pabrik pupuk hanya sekitar US$ 2-3,2 per mmBtu. Parahnya lagi, sikap demikian ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan swasta seperti PT. Exxon Mobil Oil, tetapi juga dilakukan oleh Pertamina, yang notabene merupakan perusahaan milik negara. Akibatnya kepentingan dalam negeri justru terabaikan, hanya untuk mengejar keuntungan yang belum tentu secara efektif masuk ke kas negara.

Ini semua terjadi akibat pengelolaan sektor pertambangan, termasuk gas, yang didasarkan pada prinsip liberal-kapitalistik. Dengan prinsip ini, pemerintah memposisikan diri seolah sebagai penjual, sementara rakyat diposisikan sebegai pembeli. Pemerintah juga memposisikan diri seolah sebagai pemilik tambang, yang punya otoritas untuk memberikan hak penguasaan tambang kepada swasta, baik dalam negeri maupun asing. Dengan prinsip seperti ini, kepentingan dan hak-hak rakyat untuk mendapatkan manfaat dari hasil tambang sudah pasti akan terabaikan.

Dalam pandangan Islam, barang tambang termasuk gas, jika diketahui jumlahnya sangat besar, statusnya adalah sebagai milik umum. Adapun posisi pemerintah hanyalah sebagai wakil umat dalam pengelolaan sektor pertambangan tersebut. Jadi, pemerintah lah yang harus mengelola tambang tersebut dan memberikan hasil/keuntungannya kepada rakyat.

Dalam hal ini, pemerintah dilarang mengkomersialkan hasil tambang tersebut kepada rakyatnya. Kalaulah pemerintah membutuhkan biaya untuk mengelola tambang sehingga hasilnya terpaksa harus dijual, maka harga jualnya harus ditekan serendah mungkin, sebatas cukup untuk menutupi biaya operasionalnya. Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Ibn Abbas:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإَِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ»

Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, padang dan api. Harganya pun haram. (HR Ibn Majah).

Kata “api” dalam hadits ini dapat dimaknai sumber energi, termasuk gas, yang juga bisa dijadikan sebagai bahan baku pupuk urea.

Selain itu, pemerintah juga tidak boleh memberikan hak penguasaan tambang kepada pihak swasta. Sebab, memberikan hak penguasaan tambang kepada swasta, berarti telah melakukan perubahan status kepemilikan atas tambang tersebut dari milik umum ke milik pribadi (swasta). Selain itu, jika dikuasai swasta, orientasi pengelolaannya akan bersifat komersial. Akibatnya, rakyat secara bersama-sama tidak akan bisa mendapatkan manfaatnya.

Demikianlah konsep Islam dalam pengelolaan barang tambang, termasuk gas. Dengan sistem pengelolaan seperti ini tentu permasalahan kelangkaan pasokan gas untuk industri pupuk tidak akan terjadi. Dalam hal ini, tidak berarti pemerintah dilarang menjual gas ke luar negeri. Penjualan gas ke luar negeri boleh dilakukan pemerintah, selama kebutuhan gas dalam negeri sudah tercukupi. Jika belum, maka ke butuhan dalam negeri harus diprioritaskan.

Adapun masalah kedua, yaitu kelangkaan pupuk akibat disparitas harga, hal ini terjadi karena di Indonesia diberlakukan dua harga pupuk, yaitu pupuk subsidi untuk petani dan pupuk non subsidi untuk perusahaan perkebunan dan industri. Saat ini pemerintah menetapkan HET (harga eceran tertinggi) untuk pupuk urea bersubsidi sebesar Rp. 1200/kg. Sedangkan harga pupuk non subsidi berkisar antara Rp. 1600 – Rp. 2000 per kilogram. Disparitas harga ini mendorong oknum-oknum distributor dan pedagang pupuk yang ingin meraup keuntungan sepihak melakukan kecurangan dengan menjual pupuk subsidi ke perusahaan perkebunan dan industri. Akibatnya petani kecil justru tidak kebagian pupuk bersubsidi.

Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya disparitas harga pupuk antara di dalam negeri dan di luar negeri. Saat ini harga pupuk di luar negeri mencapai US$ 500/ton, atau sekitar Rp. 5500/kg. Peluang ini dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk menyelundupkan pupuk ke luar negeri.

Dalam pandangan Islam, kebijakan menjual pupuk dengan dua harga, yaitu harga subsidi dan non subsidi, tidak seharusnya dilakukan. Negara justru wajib mengupayakan ketersediaan pupuk dengan harga yang murah. Sebab, pupuk merupakan kebutuhan vital yang diperlukan untuk menunjang sektor pertanian. Di mana pertanian merupakan sektor yang menentukan ketersediaan pangan dan sandang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Jika harga pupuk murah, harga pangan dan sandang pun diharapkan bisa menjadi murah. Dengan cara ini, negara bisa menyediakan kebutuhan pangan dan sandang bagi rakyatnya dengan harga yang murah.

Selain itu, gas yang merupakan bahan baku pupuk urea, merupakan produk tambang yang tidak boleh dikomersialkan oleh negara. Sebab, gas termasuk milik umum yang wajib dikelola negara dan dikembalikan hasil dan manfaatnya kepada rakyat. Jadi, jika pabrik pupuk bisa memperoleh gas dengan harga murah atau bahkan gratis, tentu tidak layak ada pupuk yang dijual dengan harga lebih mahal (non subsidi). Dengan cara inilah, masalah disparitas harga pupuk di dalam negeri dapat diatasi, sehingga kelangkaan pupuk akibat disparitas harga dapat dicegah.

Adapun adanya disparitas harga dengan pasar pupuk di luar negeri, yang berpeluang menyebabkan terjadinya penyelundupan, maka hal ini bisa diatasi dengan pengawasan yang ketat oleh negara. Ini hanya masalah teknis, yang tidak sulit untuk diatasi jika negara benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik.

Demikianlah, syariah Islam benar-benar dapat memberikan solusi atas problem-problem kehidupan yang tidak mampu dipecahkan oleh sistem kapitalis. Karena itu, jika umat ini ingin menggapai kehidupan yang lebih baik dan diridloi oleh Allah SWT, tidak ada cara lain kecuali dengan mewujudkan tegaknya syariah di bawah naungan Khilafah.

Antara DPD RI dan laut asin


Kenapa ikan di laut badannya tidak ikut asin. bukankah kita juga bisa? tidak ikut "asin" dalam dunia yang "asin" ini...

Sy baca kalimat ini dari beranda facebook teman sy. Kebetulan sekarang dia lagi getol2nya kampanye biar lolos jadi anggota DPD RI dari Jatim.

Sy pun memberi komentar : "Trus... mo jadi anggota DPD apa jadi ikan asin??"

Hehehe...

Sebenarnya komentar sy bukan untuk melucu tapi asli serius!

1. Kalimat yg dibuat temen sy tuh juga aneh. Masa manusia disamakan dengan ikan. Kehidupan manusia disamakan dengan kehidupan laut yg asin. Tuh emang ga logis blas! Secara logika aja nih, kenapa ikan di laut ga asin, karena ikan mempunyai daya proteksi dalam tubuhnya sehingga mampu menetralisir asin air laut. Sehingga ikan laut tidak asin. Kalau ikan laut jadi asin, tandanya dia sudah mati karena tidak mampu memproteksi dirinya sehingga "tercemari" asinnya air laut.

2. Sy tau logika apa yg sedang dipikirkan oleh teman sy ini. Menurut dia, ketika seseorang memiliki daya proteksi terhadap diri sendiri, maka segala apapun yg dihadapi tidak akan mempengaruhi idealismenya. Secara... teman sy ini calon anggota DPD RI yang tampangnya ada di beberapa baliho dan selebaran yg disebar di pinggir2 jalan. Dia merasa yakin, nyemplung di dunia yang asin (penuh persoalan) tidak akan mempengaruhinya karena ia sudah imun dari hal-hal negatif... hmmm apa iya? Sekarang, belum jadi anggota DPD RI bisa ngomong begitu. Tapi kalo sudah jadi, apa masih bisa begitu? Wallahu a'alam. Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia.

3. Demokrasi... tidak memberi jaminan apapun untuk perbaikan kehidupan manusia. Janji-janji tinggal janji, realisasi? Nol besar!
Coba bayangkan... demokrasi ini sangat mahal, menyerap anggaran yg besar dari dara rakyat di APBN dan APBD (selengkapnya baca tulisan sy tentang Demokrasi : Mahal & kufur)tapi tidak memberi jaminan, pemimpin yang dilahirkan dari proses demokrasi akan membawa perubahan yg fundamental mencapai kesejahteraan umat.
Banyak orang mengatakan, yg salah orangnya bukan demokrasinya. Perlu diketahui, sistem demokrasi sejak awalnya sudah cacat, bobrok, karena tidak menerapkan aturan Allah sebagai landasan kehidupan. Ketika manusia (sok tahu) membuat aturan, maka yg terjadi adalah permainan kepentingan. Bisa dikatakan apa yg dihasilkan hanyalah kepentingan2 individu semata untuk mengeruk keuntungan dari uang rakyat. Urusan rakyat, diurus belakangan... naudzubillahi min dzalik!

Padahal, Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban pemimpin. Para pemimpin yg lalai pada urusan umat, tunggu pembalasannya di akhirat!

Kamis, 20 November 2008

Memakai Jilbab Hukumnya Wajib. Mengapa Dipersoalkan?



Sangat pilu! Itulah perasaan seorang gadis Muslimah yang bernama Winie Dwi Mandella, petugas medis di RS Mitra Keluarga Bekasi Barat. Betapa tidak, di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini ia mendapatkan perlakuan yang sangat tidak adil; dipecat dari rumah sakit tempat kerjanya hanya karena mengenakan jilbab/kerudung.

Kisah malang yang menimpa Winie semakin menambah panjang kasus-kasus serupa di tempat lain dan institusi yang berbeda. Puluhan tahun silam, Januari 1983, misalnya, SMAN 68 Jakarta Pusat pernah melarang salah seorang siswinya mengikuti pelajaran karena mengenakan jilbab. Ia dianggap tidak mematuhi aturan seragam sekolah. Hal serupa terjadi di SMAN 33 Jakarta.

Masih ingat dengan kasus pemecatan Hadis dan Dewi? Mereka adalah dua mahasiswi Akper Muhammadiyah Banjarmasin yang dikeluarkan lantaran tidak menaati aturan berpakaian yang ditetapkan oleh institusi tempatnya belajar. Keduanya dikeluarkan hanya karena mengenakan jilbab yang mereka yakini lebih sempurna. Ini terjadi pada tahun 2003.

Setahun lalu (2007), di Jawa Timur, juga ada larangan berjilbab bagi peserta seleksi calon anggota Paskibraka di Kabupaten Kediri. Di Jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta memperketat aturan berjilbab bagi para mahasiswinya. Di Bandung, juga terjadi pelarangan jilbab bagi perawat di Rumah Sakit Kebonjati.

Sebetulnya, masih banyak kasus serupa di banyak tempat lain di Indonesia, yang mungkin sebagiannya tidak terungkap oleh media secara nasional. Jelas, ini ironis sekali. Pasalnya, Indonesia bukan seperti negara-negara Barat yang jelas-jelas kufur. Indonesia mengklaim bukan negara sekular. Bahkan tertuang dalam UUD 1945, pasal 29: Negara memberikan jaminan kebebasan bagi warga negaranya untuk menjalankan kehidupan beragamanya.

Muslimah di belahan dunia lain juga tidak kalah pilunya. Mereka mendapatkan perlakuan tidak adil dan biadab. Turki, misalnya, yang mayoritas penduduknya Muslim dan pernah menjadi pusat pemerintahan Islam selama berabad-abad lamanya, melarang mahasiswanya untuk mengenakan jilbab ke kampus. Demi mempertahankan jilbabnya, banyak gadis berjilbab yang akhirnya putus sekolah dan lebih memilih tinggal di rumah daripada pergi ke kampus dengan rambut terurai.

Di Jerman, wilayah larangan berjilbab semakin meluas. Dari 16 negara bagian, 8 negara bagian telah memberlakukan larangan tersebut. Dikatakan, larangan berjilbab diadakan untuk menghindari seseorang dari pengaruh. Tidak jelas pengaruh apa yang dimaksud.

Di Prancis, Presiden Jacques Chirac telah memberlakukan undang-undang yang juga melarang penggunaan jilbab bagi Muslimah.

Di Belanda, Maret 2006, Geert Wilders yang merupakan salah seorang anggota parlemen sayap kanan menggelindingkan bola liar dengan mengusulkan larangan mengenakan burqa (termasuk juga jilbab). Ia mengatakan bahwa burqa akan menjadi musuh kaum perempuan. Apa yang dilontarkan oleh Wilders berbuntut pada munculnya peraturan yang melarang pemakaian burqa secara nasional di seluruh wilayah Belanda pada Desember 2006.

Di Inggris, November 2004, jilbab juga kembali dilecehkan. Saat ini dilontarkan oleh institusi tertinggi kedua dalam Keuskupan Inggris. Pernyataan itu berasal dari Uskup York, John Sentanu, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar British Daily Mail. Ia menyatakan bahwa jilbab tidak sesuai dengan norma-norma kesopanan.
Larangan berjilbab juga diberlakukan di Swedia dan Belgia.

Di Spanyol jilbab dituduh sebagai simbol penindasan terhadap kaum perempuan. Padahal Spanyol telah mengakui Islam berdasarkan undang-undang kebebasan beragamanya yang disahkan pada Juli 1967.

Di Nigeria jilbab di sekolah serta penggunaan celana panjang dan peci untuk laki-laki juga dilarang.

Bahkan di negara Timur Tengah seperti Tunisia pun terjadi hal yang sama. Saat kepemimpinan Presiden Tunisia Habib Bouruiba, tahun 1981 Tunisia meratifikasi UU nomor 108 yang melarang wanita Muslimah di Tunisia mengenakan jilbab di lembaga-lembaga pemerintahan. Puncaknya, Pemerintah Tunisia bahkan ‘mengharamkan’ wanita berjilbab ‘masuk’ dan dirawat di rumah sakit negara. Lebih ‘biadab’ lagi, pemerintah telah melarang ibu-ibu hamil melahirkan anaknya di rumah sakit negara lantaran berjilbab. Bahkan saking kalapnya dalam aksi pemberangusan jilbab, pada September 2006, pemerintah Tunisia menggelar sebuah operasi pengamanan dengan mengobrak-abrik berbagai toko yang di dalamnya menjual boneka berjilbab, ‘Fulla’.

Inilah potret Muslimah yang selalu menjadi korban pertama dan utama dalam setiap penerapan sekularisme radikal. Mereka juga sekaligus korban dari apa yang disebut dengan ‘Islamophobia’ (ketakutan dan kebencian terhadap Islam).
Pejuang HAM Diam, Penguasa Tak Peduli

Dalam banyak kasus larangan jilbab, berbagai LSM/kelompok-kelompok pejuang HAM lebih banyak diam. Kemana pula para pegiat isu gender? Bukankah para Muslimah juga perempuan yang harus diperjuangkan hak publiknya? Mungkin karena kasus larangan jilbab justru menguntungkan mereka. Pasalnya, selama ini mereka bekerja seolah untuk sebuah ‘proyek’: menyudutkan Islam dan kaum Muslim. Saat Islam dan kaum Muslim sedang tersudut, mereka diam. Ketika ada peluang untuk menyudutkan Islam dan kaum Muslim, dengan cepat mereka bereaksi. Contohnya dalam kasus poligami Aa Gym beberapa waktu lalu atau pernikahan Syekh Puji-Ulfa baru-baru ini.

Di sisi lain, penguasa pun seolah tidak peduli terhadap kasus-kasus sensitif yang menimpa umat Islam, termasuk kaum Muslimah, khususnya dalam kasus larangan jilbab. Padahal, bandingkan dengan dulu saat umat Islam berada dalam naungan Kekhilafahan Islam dan penerapan syariah Islam, serta dipimpin oleh para khalifah yang adil dan amanah. Pada masa Khalifah al-Mu’tashim Billah, misalnya, pernah seorang Muslimah berteriak, “Wahai al-Mu’tasim! Di manakah engkau?!” Muslimah itu ditawan oleh Kerajaan Romawi di Malta. Di sana ia dilecehkan kehormatannya sekaligus diperlakukan dengan sangat buruk. Meski ia sangat jauh di Malta, beritanya telah tersebar dari orang ke orang hingga sampai juga kepada Khalifah.

Dengan cepat Khalifah al-Mu’tashim bereaksi. Tidak tanggung-tanggung. Ia lalu mengumandangankan jihad terhadap Kerajaan Romawi. Secepat kilat, Khalifah al-Mu’tashim berikut puluhan ribu bala-tentara kaum Muslim bergerak menuju kota Ammuriyah di Romawi, untuk kemudian menaklukan Kerajaan Romawi saat itu juga. Demikianlah, hanya demi melindungi seorang Muslimah, Khalifah tak segan-segan mengumandangkan perang jihad melawan siapa saja yang melecehkan Islam dan kaum Muslim.

Bagaimana dengan nasib ribuan—bukan hanya seorang—Muslimah pada hari ini yang bernasib buruk? Mereka bukan saja dilarang berjilbab, bahkan sebagiannya dilecehkan kehormatannya dan diperkosa oleh orang-orang kafir, sebagaimana telah banyak terjadi di Palestina, Irak dan Afganistan. Tak ada satu pun penguasa Muslim yang tersentuh kemudian tergerak untuk melindungi mereka.
Islamophobia Vs Keagungan Islam

Berbagai kasus pelarangan jilbab di Indonesia maupun di luar negeri, khususnya di negara-negara Barat, boleh dikatakan merupakan wujud dari masih bercokolnya sikap Islamophobia (ketakutan dan kebencian terhadap Islam), baik di kalangan umat Islam sendiri maupun kalangan non-Muslim.

Tentu aneh jika ada kalangan Islam yang malah phobi (takut) terhadap Islam. Adanya ketakutan dan kebencian kaum kafir terhadap Islam juga tak kalah anehnya. Pasalnya, sepanjang sejarah, saat umat Islam menjadi pemimpin dan syariah Islam diterapkan, Islam adalah agama yang senantiasa menjamin keamanan, keselamatan dan kebebasan kaum minoritas non-Muslim dalam beribadah sesuai dengan keyakinan mereka. Ini sudah berlaku sejak masa Rasulullah saw. dan tetap dilaksanakan oleh para khalifah sepeninggal Beliau. Kebijakan yang begitu ramah terhadap non-Muslim ini terus berlangsung selama berabad-abad lamanya sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam.

Karen Amstrong dalam bukunya, Holy War, menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Khalifah Umar bin al-Khathathab kira-kira sebagai berikut, “Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah meminta agar ia segara dibawa ke Haram asy-Syarif dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Muhammad saw. melakukan perjalanan malamnya. Sang Uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berpikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantaian dan menandai datangnya Hari Kiamat. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.”

Setelah itu, penduduk Palestina hidup damai dan tenteram; tidak ada permusuhan dan pertikaian meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda: Islam, Kristen, dan Yahudi.

Apa yang dilakukan Khalifah Umar ra. jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 M. Ketika mereka berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 1837 oleh Khalifah Umar ra. hancur berkeping-keping.

Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubi berhasil membebaskan Kota al-Quds pada tahun 1187 M, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban yang serupa. Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini sebagai berikut, “Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin menepati janjinya. Ia menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Ia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099…”

Perlakuan Kekhilafahan terakhir, Khilafahan Utsmaniyah, terhadap kaum non-Muslim dilukiskan sejarahwan Inggris, Arnold J. Toynbee, dalam bukunya, Preaching of Islam, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…”

Demikianlah, dengan secuil fakta sejarah di atas, jelas tidak seharusnya orang-orang non-Muslim, apalagi kaum Muslim, tetap mengidap Islamophobia. Sebab, Islam datang memang untuk menebarkan rahmat bagi seluruh umat manusia. Mahabenar Allah SWT yang berfirman:

Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluuruh alam (QS. Al-Anbiya [21]: 107).[]

The Death of Capitalism!



Membaca koran JP pagi ini ada berita yang bikin miris. Gimana nggak miris, Cicilan Utang Luar Negeri Membengkak! Tahun Depan (2009) hutang Rp 250 triliun jatuh tempo. Utang itu terdiri dari utang pemerintah USD 88,1 miliar, utang perbankan USD 5,5 miliar, utang non bank USD 50,1 miliar, utang lain-lain USD 2,5 miliar. Total utang luar negeri 146,226 miliar. Jatuh tempo tahun 2009 USD 22 miliar.

Kondisi ini nggak lepas dari krisis keuangan global yang mulai membangkrutkan Amerika sejak 2007. Dampak krisis itu semakin nyata terlihat dengan tak berdayanya Indonesia membayar utang luar negerinya, bahkan di waktu jatuh tempo sekalipun. Bahkan pertengahan tahun 2009 diperkirakan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan meningkat. Angkanya akan lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2008. “Pasti itu. Karena itu, pemerintah harus waspada,” kata Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Chris Kanter di sela-sela Rakornas Kadin di Jakarta, Selasa (18/11). Saat ini indikasi PHK massal mulai terlihat dengan adanya beberapa pekerja yang dirumahkan. “Itu sebenarnya PHK kecil,” tuturnya.
Banyak analis mengatakan, inilah masa kehancuran kapitalisme. Kapitalisme sudah sekarat, sebentar lagi mati!

Tidak ada pilihan lain. Bertahan dengan kapitalisme berarti memperpanjang umur kesengsaraan. Sebenarnya ada sistem alternatif yang jauh lebih kuat karena datang dari Dzat yang Maha Sempurna, Allah SWT. Sistem ekonomi Islam – yang sebenarnya jauh lebih kompleks dari sekedar pelarangan riba (bunga). Berbeda dari Kapitalisme, sistem ekonomi Islam selalu menomorsatukan kebutuhan dan pemberdayaan masyarakat secara riil –-bukan sekedar pertumbuhan ekonomi saja-– sebagai isu utama yang memerlukan jalan keluar dan penerapan kebijakan. Sistem Islam memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda tentang ekonomi, sehingga jalur pengembangan ekonominya pun berbeda dari Kapitalisme.

Sistem Ekonomi Islam menfokuskan pada manusia dan pemenuhan kebutuhannya, bukan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Nabi Muhammad saw bersabda, ”Anak Adam tidak memiliki hak selain memiliki rumah untuk berteduh, pakaian untuk menutupi dirinya, dan sepotong roti dan seteguk air.” (Hr. At-Tirmidhi). Dasar pemikiran yang membentuk sistem ekonomi Islam melahirkan kebijakan dan peraturan yang diarahkan untuk mencapai fokus tersebut. Islam menaruh perhatian khusus untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagaimana yang diterangkan dalam hadith sebelumnya, ketimbang pada penambahan angka GDP saja.

Dalam hal ini, negara diwajibkan oleh Islam untuk memiliki peran langsung dalam pencapaian tujuan ekonomi, dan tidak begitu saja membiarkannya kepada sistem pasar bebas. Nabi Muhammad Saaw bersabda, ”Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” (H.r. Ibn Majah) Berdasarkan dari hadith Nabi tersebut, negara menguasai kepemilikan dari sumber daya alam berbasis api seperti minyak, gas bumi, penyulingan, instalasi pembangkit listrik sebagaimana sumber air. Dengan demikian, masyarakat tidak akan rawan untuk menjadi obyek eksploitasi perusahaan swasta yang meraup keuntungan dari instalasi strategis yang tersebut diatas. Negara juga akan mengontrol lembaga-lembaga yang mengatur atau mengurus instalasi tersebut sehingga mampu untuk segera bertindak ketika diperlukan dan sebelum terlambat.

Ekonomi Islam tidak mengenal dualisme ekonomi– yaitu ekonomi yang terdiri dari sektor riil dan sektor keuangan, dimana aktifitasnya didominasi oleh praktik pertaruhan terhadap apa yang akan terjadi pada ekonomi riil. Ekonomi Islam didasarkan pada ekonomi riil. Dengan demikian, semua aturan ekonomi Islam memastikan agar perputaran harta kekayaan tetap berputar. Larangan terhadap adanya bunga (riba) bisa dipraktikan dengan melakukan investasi modal di sektor ekonomi rill, karena penanaman modal di sektor lain dilarang. Kalaupun masih ada yang berusaha menaruh sejumlah modal sebagai tabungan atau simpanan di bank (yang tentunya juga tidak akan memberikan bunga), modal yang tersimpan tersebut juga akan dialirkan ke sektor riil. Artinya, tiap individu yang memiliki lebih banyak uang bisa ia tanam di sektor ekonomi riil, yang akan memiliki efek berlipat karena berputarnya uang dari orang ke orang yang lain. Keberadaan bunga, pasar keuangan, dan judi secara langsung adalah faktor-faktor yang menghalangi perputaran harta.

Islam menetapkan bahwa emas dan perak merupakan mata uang, bukan yang lain. Mengeluarkan kertas substitusi harus dicover dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.

Seluruh dunia di masa lalu terus menerus menggunakan standar emas dan perak itu sebagai mata uang sampai beberapa saat sebelum Perang Dunia I, ketika penggunaan standar tersebut dihentikan. Seusai Perang Dunia I, standar emas dan perak kembali diberlakukan secara parsial. Kemudian penggunaannya semakin berkurang dan pada tanggal 15 Juli 1971 standar tersebut secara resmi dihapus, saat dibatalkannya sistem Bretton Woods yang menetapkan bahwa dollar harus ditopang dengan jaminan emas dan mempunyai harga yang tetap. Dengan demikian, sistem uang yang berlaku adalah sistem uang kertas inkonvertibel, yang tidak ditopang jaminan emas dan perak, tidak mewakili emas dan perak, dan tidak pula mempunyai nilai intrinsik. Nilai pada uang kertas tersebut hanya bersumber dari undang-undang yang memaksakan penggunaannya sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender).

Negara-negara penjajah telah memanfaatkan uang tersebut sebagai salah satu alat penjajahan. Mereka mempermainkan mata uang dunia sesuai dengan kepentingannya dan membangkitkan goncangan-goncangan moneter serta krisis-krisis ekonomi. Mereka juga memperbanyak penerbitan uang kertas inkonvertibel tersebut, sehingga berkecamuklah inflasi yang menggila, yang akhirnya menurunkan daya beli pada uang tersebut. Inilah salah satu faktor yang menimbulkan kegoncangan pasar modal.

Sistem ekonomi Islam juga melarang riba, baik nasiah maupun fadhal, juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal terdapat bagian khusus untuk pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, sebagai bentuk bantuan untuk mereka, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.

Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum dikuasai oleh penjualnya, sehingga haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan.

Sesungguhnya terjadinya goncangan-goncangan pasar modal di Barat dan di bagian dunia lain itu telah menelanjangi kebobrokan sistem ekonomi kapitalis, sistem perseroan terbatas atau syarikah musahaman, sistem bank ribawi, dan sistem uang kertas inkonvertibel. Goncangan-goncangan tersebut juga menunjukan bahwa tidak ada jalan lain bagi dunia untuk keluar dari kerusakan sistem ekonomi kapitalis dan goncangan pasar modal tersebut, selama sistem-sistem itu masih tetap ada.

Maka yang dapat membebaskan dunia dari kebusukan semua sistem tersebut adalah dengan menghapus secara total sistem ekonomi kapitalis yang rusak, menghapus sistem perseroan atau syarikah musahamah (atau dengan cara mengubahnya menjadi peru- sahaan yang Islami), menghapus sistem bank ribawi (termasuk menghapus riba itu sendiri), serta menghapus sistem uang kertas inkonvertibel dan kembali kepada standar emas dan perak.

Jika semua langkah ini ditempuh, niscaya tak ada lagi inflasi moneter, kredit-kredit bank dengan riba, dan spekulasi-spekulasi yang menyebabkan kegoncangan pasar modal. Akan lenyap pula kebutuhan akan bank-bank ribawi.

Dengan demikian, stabilitas ekonomi dunia akan terwujud, krisis moneter akan lenyap, dan tak ada lagi alasan untuk menjustifikasi keberadaan pasar modal. Krisis ekonomi pun akan berakhir. Keadilan dan kesejahteraan yang didambakaan akan terwujud. Begitulah, sistem ekonomi Islam benar-benar akan menyelesaikan semua kegoncangan dan krisis ekonomi yang mengakibatkan derita manusia. Ia merupakan sistem yang ditetapkan oleh Tuhan semesta alam, yang Maha Tahu apa yang baik untuk seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman:

(أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ)

“Apakah Allah Yang Maha menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Q.s. al-Mulk [67]: 14)

So, segera perjuangkan syariah! Tegakkan Khilafah!

Rabu, 19 November 2008

Buruh, UMK, kesejahteraan... siapa peduli?


Di tengah hujan kemarin ratusan buruh ABM basah kuyup bersama polisi dan wartawan. Mereka memperjuangkan haknya mendapatkan upah yang layak untuk kesejahteraan. Selama liputan di tengah hujan yg deras, akankah perjuangan buruh hari ini akan bermuara pada keadilan atas tuntutan mereka?
Dan endingnya pun bisa ditebak...
Sy liputan UMK buruh sudah ketiga kalinya. Setiap tahun mereka menuntut, UMK harus sesuai survey Kebutuhan Hidup Layak. Karna bunyi UU Ketenagakerjaan begitu. Tapi selalu saja pemerintah berdalih... "Iya, UMK sesuai survey kebutuhan hidup layak. Tapi dilakukan secara bertahap... ingat ya bertahap!" kata Kepala Dinas Tenaga Kerja Jatim kemarin. Yang ia maksud dengan bertahap adalah.. pencapaian UMK sesuai KHL akan dilakukan tapi tidak sekarang. Mboh tahun kapan!
Padahal, setiap tahun buruh menjerit! Kesejahteraan mereka tergadaikan! Tidak ada yang peduli!
Emang gue pikirin? Boro-boro mikirin nasib rakyat (apalgai buruh), nih lagi mikirin... mau jadi Gubernur dulu! Mau mikir pilpres 2009, mau nyalon Presiden dananya dari mana? Itu tuh... ciri negara kapitalis (meski SBY paling ogah disebut Indonesia negara kapitalis! Padahal praktek negara kapitalis sudah dilakukan bertahun2..)
Sekedar berbagi konsep ketenagakerjaan dalam sistem Islam...
Dalam sistem Islam ada konsep pengupahan yg dilakukan seorang pengusaha pada pekerja. Dengan konsep pengupahan dan pekerjaan yg jelas dalam akad (kontrak) kerja. Satu hal yg sangat berbeda dengan penentuan upah ala kapitalis, upah yg diberikan pada buruh bukan disandarkan pada jumlah barang produksi yg laku di pasaran. tapi distandarkan pada besarnya tenaga/jasa yang diberikan buruh dalam pekerjaannya. contoh nih, ada buruh pabrik mie kerja pagi sampe malem memjalankan mesin produksi yang sangat berat sehingga mengeluarkan tenaga ekstra keras ternyata cuma digaji 30 ribu per hari. dalam konsep Islam, ini nggak fair bagi si buruh. karena itu, buruh punya bergaining power menentukan upahnya berdasarkan tenaga/jasa yang telah dikeluarkannya.
tapi ada juga catatan, dalam penentuan upah, dalam konsep Islam, pengusaha tidak menanggung kesejahteraan buruh! Jadi nggak perlu tuh survey tempat kos, makan, pakaian, pendidikan anak, biaya rumah sakit dll. Enteng kan buat pengusaha???
Lha trus, yg nanggung kesejahteraan buruh siapa? Dalam konsep Islam, NEGARA WAJIB MEMBERIKAN FASILITASI KESEJAHTERAAN RAKYAT. Pendidikan gratis, sampai level apapun bisa sekolah gratis. Biaya rumah sakit gratis, sakit apapun, gratis. Negara juga berkewajiban menyediakan perumahan untuk rakyat, bahkan untuk mereka yg cacat atau tidak mampu bekerja diberikan tunjangan oleh negara.
Beda dengan negara kapitalis macam Indonesia ini, pendidikan, kesehatan, perumahan semua dibebankan pada rakyat. Lha trus apa gunanya memilih pemimpin dalam pemilu kalau cuma bisa cuek urusan rakyat dan lebih peduli urusan diri sendiri???

Study Banding Anggota Dewan


Cerita off the record ini sebenarnya sudah agak lama saya dapatkan. Seorang dosen, pengamat hukum lingkungan yang juga staf kementrian LH bercerita banyak pada sy. Waktu itu, blio sedang getol memperjuangkan RUU sampah.
Awalnya dia cerita tentang RUU sampah yang digagas kementrian LH ini sebagai terobosan baru satu diantara penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Supaya bisa jadi UU, RUU ini harus mendapat pengesahan dari DPR.
Sebenarnya, pembahasan RUU ini tidak rumit, tapi sama wakil rakyat "sengaja dibuat rumit". Dalam beberapa kali rapat dengan eksekutif anggota DPR (yang konon terhormat... sekarang masih terhormat ga ya? atau sudah terlaknat? wallahu alam bishawab) selalu mengulur-ulur pembahasan. Yang kurang inilah, kurang itu lah. harus begini dan begitu. Ujung-ujungnya mereka mengajukan sejumlah permintaan pada eksekutif. Permintaannya luar biasa...
1. Minta kunjungan luar negeri untuk study banding ke Cina. Ga tanggung-tanggung, mereka minta tinggal di hotel mewah yang ada lapangan golf-nya.
2. Uang saku puluhan juta per orang harus jadi tanggungan KLH
Lucunya... sebelum mereka brangkat study banding, eh... laporan study bandingnya sudah jadi karena sudah dikerjakan orang2 KLH... Edan tenannnn!
Jadi ternyata di Cina mereka cuma main golf, blanja2, wisata...dll yang ga ada hubungannya sama urusan rakyat!
Itu belum cukup. Supaya RUU ini disahkan, KLH juga harus menyiapkan uang pelicin untuk setiap anggota dewan. "Di depan mata sy mereka terima uang itu, tapi nggak mau tandatangan kuitansi. Bahkan kuitansinya dirobek..." cerita dosen hukum LH ini sambil kesal.
Itulah perilaku anggota dewan. Tanpa bermaksud menggeneralisir (oknum barangkali... tapi klo oknum, kok sekarang banyak yg ditangkapi KPK, bahkan ada yg semua anggota komisi terima uang haram...jadi yang benar oknum atau... semua oknum anggota dewan... hahahaha...) kejadian semacam ini bukan yang pertama dan terakhir, bahkan bukan satu2nya. Bahkan praktek2 semacam ini menjadi hal yang lazim, lumrah, adat... walah!
Jadi... masih percaya dengan wakil rakyat? Bener2 percaya mereka akan memperjuangkan nasib anda? Masih percaya pada demokrasi yg katanya akan memilih pemimpin yang adil & mensejahterakan rakyat? Olala... c'mon wake up! Sekarang sudah bukan waktunya berdemokrasi... tapi waktunya menegakkan syariah dan khilafah... Allahu Akbar!

Makan Uang Rakyat, Hmmmm...


Sore tadi, teman sekantor (jurnalis webnews) tiba2 nyamperin...
Awal kalimat yang dia katakan, "Pernah ngerasain makan uang rakyat?"
Waduh... pertanyaan yg gawat. Aku mulai "menginterogasinya" dengan sejumlah pertanyaan. "Emang enak? Uang apaan? Untuk apa? Gimana rasanya?"
Temen itu pun mulai bercerita... (mungkin secara redaksional cerita ini tidak mirip dengan apa yg dia sampaikan. Tapi kurang lebih intinya sama).
Suatu hari (ya... beberapa hari sebelum cerita ini sy tulis), ia mendapat tugas mengikuti studi banding dengan Pemkot Surabaya. Acaranya 3 hari, tujuannya Bali! Study banding tentang pengelolaan kawasan mangrove untuk melindungi pantai dan ekosistemnya. Sebenarnya, kalau dari sisi penugasan yg akan dilakukan, tema ini bagus. mengingat di Surabaya pemberdayaan mangrove masih sangat kurang, padahal sangat dibutuhkan.
Lanjut ke study banding tadi...
Kata temen jurnalis website ini, sebelum berangkat study banding, dilakukan briefing acara dengan wartawan untuk mengatur jadwal keberangkatan dan acara di Bali. "Waktu kulihat jadwal acaranya, aku mulai curiga. Karna dari 3 hari perjalanan dg PP pesawat itu, study banding mangrove cuma 1 hari aja. Selebihnya untuk plesir aliar wisata..."
Meski sedikit curiga, temen jurnalis ini akhirnya berangkat juga. Dengan harapan ketika sampai di tempat, ia akan mendapat liputan yg menarik sekaligus wawasan tentang pengelolaan hutan mangrove.
Eh... sampai di lokasi ternyata jadwal acara persis seperti yang sudah diberitahukan sebelumnya. Selama 3 hari yang ada cuma plesir..plesir dan plesir dengan sedikit study banding. Gimana nggak sedikit? Dari 3 hari itu, study banding ke hutan mangrovenya cuma 3 jam!
Temenku ini langsung kecewa, sedih dan prihatin. ia masih menyimpan idealisme seorang jurnalis. Ia sedih karna kegiatan yg dinamakan study banding itu ternyata hanya "tipu2" karena acara itu sebenarnya bukan untuk study banding tapi untuk wisata. Padahal berapa uang rakyat yg dikeluarkan untuk acara itu?
Disana temen2 pada main2 dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Saking kesalnya bertarung dengan idealisme, temen ini pilih mabok sepanjang malam. (dia bilang, "mendem" bisa menghilangkan stress! dasar gendeng!). Bukannya mabok sendirian, dia juga ngajak2 temen2 wartawan lain bahkan staf Dinas Infokom. Weleh... weleh...
Sepanjang 3 hari itu, kata temen jurnalis ini, ia tidak membuat berita apapun. "Gimana bisa bikin berita, lha wong plesir terus..."
Dengar cerita ini, jadi ingat study banding ala anggota dewan. Sekedar tau aja, sekarang ini masa2 "menghabiskan" anggaran dari APBD 2008. Dengan kedok penyerapan anggaran, maka kegiatan bisa dibuat sefiktif mungkin. Termasuk acara wisata, bisa dimasukkan kegiatan study banding. Ngomong2 soal study banding anggota dewan... nanti ada ceritanya sendiri. Seru!
Rakyat.... bagaimana kalo anda tahu bahwa uang anda hanya dihamburkan? Begitu banyak pajak yg anda setor tapi ternyata hanya untuk plesiran... Sampai2 wartawan pun dapat jatah... Hak anda sebagai kaum yang katanya berkuasa (klo menurut teori demokrasi kan 'dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat'), ternyata anda hanya dikibuli? Orang2 yang selama ini anda percayai akan mengelola uang rakyat (kekuatan APBD Kota Surabaya sekitar 1,5 triliun rupiah, maaf... klo salah bisa dikoreksi) ternyata cuma koruptor yg sangat pandai menghabiskan uang anda.
Kasus seperti ini, bukan yang pertama dan bukan satu2nya. Bahkan saking tersistemnya, mekanisme ini berjalan baik sampai sekarang.
Inilah jika birokrasi sudah berpadu dengan fasluddin anil hayyah (sekuler, pemisahan agama dengan kehidupan). Inilah dampak dari sekulerisme itu. Batasan KKN jadi samar. Yang benar dan salah, hampir jadi tidak pasti. Inilah kapitalis dengan ide sekulernya yang membuat orang berani KKN. Wis ga wedhi Gusti Allah!
Sy ingat di masa pemerintahan Abu Bakar ra. Ketika beliau didatangi putranya di rumah, Abu Bakar bertanya sebelum putranya mengutarakan maksudnya. "Kau datang padaku untuk urusan pribadi atau urusan umat?"
"Urusan pribadi," jawab sang anak.
Abu Bakar pun segera berdiri dan mematikan lampu.
"Ayah, kenapa lampunya dimatikan?" tanya putra Abu Bakar.
Abu Bakar menjawab, "Karena lampu ini dibiayai dengan uang rakyat. sedangkan kita membicarakan urusan pribadi. Tidak sepantasnya urusan pribadi kita dibiayai dengan uang rakyat."
Subhanallah... lihatlah bagaimana seharusnya seorang pemimpin memperlakukan uang rakyat dengan baik. Tidak dihamburkan, apalagi dikorupsi. Naudzubillah!
Karena itu, Islam dengan syariahnya yg sempurna harus segera diwujudkan. Ini kalau mau berubah menuju yg lebih baik. Kecuali... masih mau bertahan dengan kebobrokan semacam ini??? Sy mah ogah! Makanya, always fight for khilafah, forever!

Senin, 10 November 2008

Rekayasa Demokrasi

Siang tadi, aku wawancara dengan salah satu anggota dewan dari partai merah. dia pendukung satu diantara calon gubernur Jatim yang sedang di atas angin (sebelum penghitungan suara). ada statemen off the record yang dia bilang, "kalo mau main2 di Pilkada, bisa aja. sy pernah melakukannya..."
Then dia bicara banyak...
Bapak anggota dewan yang konon terhormat ini bilang, perolehan suara dalam pilkada itu bisa saja dimainkan.
Caranya..?
Kumpulkan KPU dari berbagai kab/kota, trus nego. berapa harga untuk nambah suara biar bisa menang pilkada?
Dan anggota KPU pun (kata anggota dewan ini) membuat harga untuk setiap suara. Anggota dewan ini tidak merinci berapa harga tiap suara, tapi yang jelas jumlahnya sangat besar. Karena harga itu sepadan dengan rekayasa suara yang dibuat untuk memenangkan calon tertentu. Gila!
well, well, ini dia demokrasi
inikah yang dikatakan para pemuja demokrasi sebagai kearifan?
demokrasi yang lahir dari kapitalisme tidak pernah arif, apalagi dalam memilih pemimpin. benar2 inilah politik dagang sapi.
Masyarakat seharusnya tidak perlu lagi mempercayai demokrasi. karena pemimpin2 yang lahir darinya, tidak lebih hanya rekayasa belaka. lihat nanti bagaimana mereka menjalankan pemerintahannya, yang dipikirkan hanya uang dan uang. mengurus masalah ummat itu no ke seribu...
masyaallah... lantas bagaimana mereka mempertanggungjawabkan kepemimpinannya pada Allah?