Senin, 24 November 2008

Pupuk Langka Petani Menjerit... Ah itu biasa!


Pupuk Langka Petani Menjerit... Ah itu biasa!
Maksudnya, petani biasa menjeriiiiit karna pupuk langka. Kalau pun sekarang menjerit, itu bukan yg pertama. Bahkan kali ini jeritan petani leboh parah...

Berdasarkan pengamatan, terdapat beberapa faktor penyebab kelangkaan pupuk yang terjadi selama ini. Dua faktor di antaranya adalah (1) Turunnya produksi pupuk akibat kelangkaan pasokan gas, dan (2) Terjadinya penyimpangan distribusi akibat adanya disparitas harga pupuk urea.

Terkait masalah pertama, yaitu kelangkaan pupuk akibat kelangkaan pasokan gas pada industri pupuk, hal ini sangatlah ironis. Pasalnya, gas yang merupakan bahan baku utama pupuk urea, sesungguhnya tersedia dalam jumlah yang sangat melimbah di bumi Indonesia. Bahkan Indonesia termasuk negara produsen gas terbesar di dunia. Namun nyatanya hal ini memang terjadi.

Pada tahun 1970-an, Indonesia memiliki pabrik pupuk PT. Asean Aceh Fertilizer (AAF) di Aceh. Pabrik pupuk tersebut merupakan salah satu kebanggan bangsa Indonesia, yang menjadi “simbol kemandirian” pertanian Indonesia. Namun apa dikata, pada tahun 2000, pabrik pupuk ini terpaksa dilikuidasi karena tidak mendapatkan pasokan gas, setelah PT. Exxon Mobil Oil –perusahaan minyak dari AS– tidak lagi mau menyupli gas. Nasib yang sama juga menimpa PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) II. Selama satu tahun, pabrik pupuk ini tidak beroperasi. Baru mulai beroperasi kembali sekitar pertengah April 2006, setelah mendapatkan pasokan gas dari Exxon Mobil Oil, itu pun hanya sampai Oktober 2006 saja. Sedangkan untuk PIM I, sampai Oktober 2006 tidak mendapat kontrak mengenai pasokan gas, sehingga pabrik tersebut tidak beroperasi.

Pasokan gas ke PT. Pupuk Kujang 1B juga belum ada kepastian. Pabrik Kujang 1B yang baru saja diresmikan Presiden SBY, pada April 2006, ternyata hanya memiliki kontrak pasokan gas selama tiga tahun, yakni 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2006.

Semua ini terjadi bukan karena jumlah produksi gas tidak mencukupi kebutuhan; melainkan, produksi gas yang ada lebih banyak dialokasikan untuk memenuhi kontrak pembelian dari luar negeri, terutama Jepang dan Korea. Alasannya karena harga gas di luar negeri jauh lebih tinggi dibanding dalam negeri.

Di luar negeri harga gas mencapai US$ 9,15 per mmBtu, sedangkan harga gas untuk pabrik pupuk hanya sekitar US$ 2-3,2 per mmBtu. Parahnya lagi, sikap demikian ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan swasta seperti PT. Exxon Mobil Oil, tetapi juga dilakukan oleh Pertamina, yang notabene merupakan perusahaan milik negara. Akibatnya kepentingan dalam negeri justru terabaikan, hanya untuk mengejar keuntungan yang belum tentu secara efektif masuk ke kas negara.

Ini semua terjadi akibat pengelolaan sektor pertambangan, termasuk gas, yang didasarkan pada prinsip liberal-kapitalistik. Dengan prinsip ini, pemerintah memposisikan diri seolah sebagai penjual, sementara rakyat diposisikan sebegai pembeli. Pemerintah juga memposisikan diri seolah sebagai pemilik tambang, yang punya otoritas untuk memberikan hak penguasaan tambang kepada swasta, baik dalam negeri maupun asing. Dengan prinsip seperti ini, kepentingan dan hak-hak rakyat untuk mendapatkan manfaat dari hasil tambang sudah pasti akan terabaikan.

Dalam pandangan Islam, barang tambang termasuk gas, jika diketahui jumlahnya sangat besar, statusnya adalah sebagai milik umum. Adapun posisi pemerintah hanyalah sebagai wakil umat dalam pengelolaan sektor pertambangan tersebut. Jadi, pemerintah lah yang harus mengelola tambang tersebut dan memberikan hasil/keuntungannya kepada rakyat.

Dalam hal ini, pemerintah dilarang mengkomersialkan hasil tambang tersebut kepada rakyatnya. Kalaulah pemerintah membutuhkan biaya untuk mengelola tambang sehingga hasilnya terpaksa harus dijual, maka harga jualnya harus ditekan serendah mungkin, sebatas cukup untuk menutupi biaya operasionalnya. Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Ibn Abbas:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإَِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ»

Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, padang dan api. Harganya pun haram. (HR Ibn Majah).

Kata “api” dalam hadits ini dapat dimaknai sumber energi, termasuk gas, yang juga bisa dijadikan sebagai bahan baku pupuk urea.

Selain itu, pemerintah juga tidak boleh memberikan hak penguasaan tambang kepada pihak swasta. Sebab, memberikan hak penguasaan tambang kepada swasta, berarti telah melakukan perubahan status kepemilikan atas tambang tersebut dari milik umum ke milik pribadi (swasta). Selain itu, jika dikuasai swasta, orientasi pengelolaannya akan bersifat komersial. Akibatnya, rakyat secara bersama-sama tidak akan bisa mendapatkan manfaatnya.

Demikianlah konsep Islam dalam pengelolaan barang tambang, termasuk gas. Dengan sistem pengelolaan seperti ini tentu permasalahan kelangkaan pasokan gas untuk industri pupuk tidak akan terjadi. Dalam hal ini, tidak berarti pemerintah dilarang menjual gas ke luar negeri. Penjualan gas ke luar negeri boleh dilakukan pemerintah, selama kebutuhan gas dalam negeri sudah tercukupi. Jika belum, maka ke butuhan dalam negeri harus diprioritaskan.

Adapun masalah kedua, yaitu kelangkaan pupuk akibat disparitas harga, hal ini terjadi karena di Indonesia diberlakukan dua harga pupuk, yaitu pupuk subsidi untuk petani dan pupuk non subsidi untuk perusahaan perkebunan dan industri. Saat ini pemerintah menetapkan HET (harga eceran tertinggi) untuk pupuk urea bersubsidi sebesar Rp. 1200/kg. Sedangkan harga pupuk non subsidi berkisar antara Rp. 1600 – Rp. 2000 per kilogram. Disparitas harga ini mendorong oknum-oknum distributor dan pedagang pupuk yang ingin meraup keuntungan sepihak melakukan kecurangan dengan menjual pupuk subsidi ke perusahaan perkebunan dan industri. Akibatnya petani kecil justru tidak kebagian pupuk bersubsidi.

Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya disparitas harga pupuk antara di dalam negeri dan di luar negeri. Saat ini harga pupuk di luar negeri mencapai US$ 500/ton, atau sekitar Rp. 5500/kg. Peluang ini dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk menyelundupkan pupuk ke luar negeri.

Dalam pandangan Islam, kebijakan menjual pupuk dengan dua harga, yaitu harga subsidi dan non subsidi, tidak seharusnya dilakukan. Negara justru wajib mengupayakan ketersediaan pupuk dengan harga yang murah. Sebab, pupuk merupakan kebutuhan vital yang diperlukan untuk menunjang sektor pertanian. Di mana pertanian merupakan sektor yang menentukan ketersediaan pangan dan sandang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Jika harga pupuk murah, harga pangan dan sandang pun diharapkan bisa menjadi murah. Dengan cara ini, negara bisa menyediakan kebutuhan pangan dan sandang bagi rakyatnya dengan harga yang murah.

Selain itu, gas yang merupakan bahan baku pupuk urea, merupakan produk tambang yang tidak boleh dikomersialkan oleh negara. Sebab, gas termasuk milik umum yang wajib dikelola negara dan dikembalikan hasil dan manfaatnya kepada rakyat. Jadi, jika pabrik pupuk bisa memperoleh gas dengan harga murah atau bahkan gratis, tentu tidak layak ada pupuk yang dijual dengan harga lebih mahal (non subsidi). Dengan cara inilah, masalah disparitas harga pupuk di dalam negeri dapat diatasi, sehingga kelangkaan pupuk akibat disparitas harga dapat dicegah.

Adapun adanya disparitas harga dengan pasar pupuk di luar negeri, yang berpeluang menyebabkan terjadinya penyelundupan, maka hal ini bisa diatasi dengan pengawasan yang ketat oleh negara. Ini hanya masalah teknis, yang tidak sulit untuk diatasi jika negara benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik.

Demikianlah, syariah Islam benar-benar dapat memberikan solusi atas problem-problem kehidupan yang tidak mampu dipecahkan oleh sistem kapitalis. Karena itu, jika umat ini ingin menggapai kehidupan yang lebih baik dan diridloi oleh Allah SWT, tidak ada cara lain kecuali dengan mewujudkan tegaknya syariah di bawah naungan Khilafah.

Tidak ada komentar: