Rabu, 28 Januari 2009

Kecurangan, Lazim dalam Demokrasi


Kecurangan menjadi sebuah kelaziman terjadi dalam sistem demokrasi. Gimana nggak lazim, kecurangan itu bahkan telah tersistem dengan rapi terstruktur karena melibatkan aparat birokrasi.

21 Januari lalu, di Bangkalan dan Sampang, dilakukan pemungutan suara ulang. Sesuai putusan MK. Dalam pemungutan suara itu, Kapolda Jatim menemukan pemilih umur di bawah 17 tahun ikut mencoblos di Bangkalan. masih di kabupaten yang sama hanya TPSnya beda, Ketua Panwas Pilgub Jatim juga menemukan hal yang sama. Pemilih di bawah umur memberikan suara yang sebenarnya bukan haknya. Tapi apa tindakan panwas? Ketua Panwas Pilgub Jatim yang waktu itu saya wawancara mengatakan, sulit melakukan penindakan, karena kesalahan terjadi di awal saat verifikasi data pemilih. Maksudnya, pemilih yang berusia di bawah umur tadi sejak awal telah terdaftar sebagai pemilih meski umurnya belum 17 tahun. Petugas verifikasi lalai (tepatnya sengaja lalai) melakukan proses verifikasi data pemilih, sehingga pemilih anak2 ini lolos dalam Daftar Pemilih Tetap.

Kasus2 yang sama (saya yakini) juga terjadi di banyak tempat. Dan asal tahu saja, kasus2 yang demikian itu terjadi di pondok pesantren. Sy jadi teringat joke seorang pengamat politik Unair, Kacung Marijan yang pernah bilang, para kyai sekarang tidak lagi jadi kyai khos tapi sudah berubah jadi kyai cost. Naudzubillah...

Inilah yang saya katakan, betapa kecurangan itu terjadi dengan sangat sistematis & terstruktur. Itu juga yang saya pamahi, kenapa Tim KAJI ngotot menggugat hasil pilgub. Untuk apa demokrasi diagungkan, jika sudah jelas dan sangat nyata, kecurangan menjadi bagiannya? Kenapa orang masih berharap pada demokrasi, jika jelas terlihat, tidak ada manfaat sedikitpun bisa diambil dari sistem demokrasi yang bobrok dan kotor itu?

Padahal Islam telah menawarkan sebuah sistem yang jauh lebih sempurna, jauh dari kecurangan dan permainan kotor lainnya. karena sistem ini dibuat oleh Dzat yang Maha Sempurna, Allah SWT. kenapa orang tidak mau memilih Islam sebagai sistem kehidupan, termasuk sistem untuk memilih pemimpin? Atau dalam diri kita, sudah lekat demokrasi itu dengan kapitalismenya. Atau justru kita menjadi bagian yang menikmati demokrasi itu dan meraih sebesar2 manfaat darinya? Sehingga sulit bagi kita untuk melepaskan diri dari demokrasi dan kapitalisme?

Ingatlah, bahwa Allah akan meminta pertanggung jawabkan kita atas semua amal di dunia. Apakah Allah akan toleran ketika kita memilih sistem selain Islam? tentu tidak, karena penerap sistem kufur hanya neraka tempatnya.

Tidak ada komentar: