Kamis, 02 Juli 2009

Ironi Anak Indonesia


Ironi masih menjadi bagian dari kehidupan anak-anak Indonesia. Lembaga Pendampingan Anak LAdA Lampung mencatat, jumlah anak yang berkonflik dengan hukum pada tahun 2007 menurun dibandingkan dengan tahun 2006. Jika pada tahun 2006 sebanyak 157 anak terlibat kasus hukum, pada tahun 2007 hanya 115 anak. Dede Suhendri, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Anak (LAdA) Lampung mengatakan, dari jumlah kasus itu mengalami sedikit kenaikan. Dari 106 kasus pada tahun 2006 menjadi 113 kasus pada tahun 2007. Sementara dari jenisnya, tiga kasus yang paling menonjol adalah pencurian yang menduduki peringkat teratas sebanyak 59 kasus, diikuti kasus penganiayaan 12 kasus, dan pemerkosaan 9 kasus. Kasus lainnya yang terjadi adalah perbuatan tidak menyenangkan 7 kasus, perampokan 6 kasus, penjambretan 5 kasus, narkoba 5 kasus, pemalakan 3 kasus, penodongan 2 kasus, pembunuhan 2 kasus, perjudian 2 kasus, dan pembegalan 1 kasus.

Di Jawa Timur, selama Januari - Oktober 2008 terjadi 217 kasus pemerkosaan, dari jumlah itu, sekitar 75% pemerkosaan terjadi pada anak-anak. Bahkan selain Surabaya, Malang sudah menjadi transit tempat pengiriman dan tujuan anak-anak yang terlibat kasus eksploitasi seksual di Indonesia. Menurut, Kepala Bidang Advokasi dan Fasilitasi Tindak Kekerasan Anak (Aftinka) Kementerian Pemberdayaan Perempuan Elvi Hendrani, kota Malang dan Kabupaten Malang, disebut sebagai kota pengirim korban-korban trafficking. Sedangkan kota Surabaya menyandang tiga status sekaligus, yaitu sebagai daerah pengirim (asal korban), transit, hingga daerah tujuan anak-anak korban trafficking. Dalam dua bulan saja, yakni bulan April hingga Mei 2009, berhasil menemukan enam kasus Eska dari berbagai wilayah di Malang. Sementara, orang-orang yang terlibat dalam memuluskan perdagangan anak tersebut, ternyata berasal dari orang-orang dekat korban. Seperti teman-teman korban, tetangga, hingga saudara korban sendiri.

Demikian memprihatinkan kondisi anak-anak kita. Meski sudah ada Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ternyata tidak cukup memberi perlindungan untuk anak-anak kita. Dra. Magdalena Sitorus Wakil Ketua II KPAI 2007-2010 mengakui perlindungan anak masih belum tertata dengan baik dari segi kebijakan, hingga saat ini. Ini karena banyak kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan anak tidak menggunakan konvensi hak anak sebagai dasar pertimbangan.

Agenda peringatan hari anak nasional 23 Juli 2009 mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi Hak Anak menjadi Undang-undang. Bagaimana sebenarnya isi dari Konvensi Hak Anak yang disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989? Sesungguhnya ada hal-hal yang harus menjadi perhatian kaum muslim :
Dalam artikel 1 Konvensi Hak Anak disebutkan, seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Isi pasal ini sebenarnya sudah diadopsi UU Perlindungan Anak. Dalam pasal 1 UU PA disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Standar apa yang digunakan hingga muncul angka 18 ini? Apakah penelitian ilmiah, nilai-nilai budaya, agama atau apa? Ini tidak dijelaskan dalam UU PA. Namun bila dirunut asal muasal munculnya UU PA yang merupakan hasil rativikasi KAH PBB, maka definisi ini bersumber pada nilai-nilai budaya sekularisme yang menafikkan agama sebagai pengatur kehidupan. Karena itu, definisi ini jelas absurd, bahkan sarat kepentingan.
Hal ini bisa kita buktikan dengan mengkaitkan definisi tersebut dengan pasal-pasal lain dalam UU PA. Misalnya dengan Pasal 26 ayat 1c UU PA yang berbunyi “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.” Artinya, orang tua berhak melarang anak yang belum berusia 18 tahun untuk menikah. Jadi, penetapan anak sebagai mereka yang berumur sebelum 18 tahun sangat terkait dengan larangan pernikahan usia dini. Dengan jargon menjaga kesehatan reproduksi remaja, mereka membuat pernyataan bahwa nikah dini membahayakan fisik dan kejiwaan anak-anak. Sebuah asumsi yang masih layak diperdebatkan.

Padahal, pelarangan menikah pada usia anak seperti didefinisikan mereka, sejatinya justru mengebiri hak anak itu sendiri. Sebab, itu berarti tertutup peluang bagi mereka yang berusia kurang dari 18 tahun untuk menikah, walau dia sudah matang dan siap secara ekonomi, biologis dan pola pikir. Di sini telah terjadi pelanggaran atas hak seksual anak tersebut. Di sinilah letak kesalahan pendefinisian “anak” versi UU PA.

Apalagi, seiring semaraknya produk-produk pornografi dan pornoaksi, kematangan biologis anak saat ini terpacu sangat cepat. Usia puber analk-anak saat ini jauh lebih maju dibanding zaman dahulu. Ketika darah mudanya bergejolak karena rangsangan luar tersebut, ia membutuhkan pemenuhan dan penyaluran. Lantas jika pernikahan dini dilarang, ke mana mereka akan menyalurkannya?

Di situlah muncul persoalan. Anak-anak dan remaja akhirnya digiring menuju pintu seks bebas, karena pintu pernikahan tertutup bagi mereka. Tak ayal, seks di luar nikah, pencabulan dan pemerkosaan di kalangan orang di bawah usia 18 tahunpun merajalela dewasa ini. Ditambah lagi, sengaja atau tidak sinetron-sinetron di layar kaca yang bertema nikah muda selalu mencitrakan gambaran negatif. Seakan-akan menikah muda itu sangat buruk.

Memang suatu kenyataan, kematangan biologi anak-anak masa sekarang kebanyakan tak diimbangi kematangan berpikir dan keberanian menentukan sikap hidup. Tetapi memberikan solusi pelarangan menikah di bawah usia 18 tahun, bukanlah solusi tepat. Alangkah lebih baik jika merancang program-program agar anak-anak dan remaja memiliki kematangan dalam berbagai hal secara benar dan bertanggung jawab. Anak-anak harus dipahamkan hak dan kewajibannya sejak dini sehingga segera memahami perannya kelak, baik sebagai seorang individu, ayah, ibu, anggota masyarakat dan negara. Di sinilah perlunya pondasi agama (baca: Islam) diperlukan.


Termasuk dalam mendefinisikan “anak”, sangat jelas jika mengacu pada ajaran Islam. Mengapa Islam? Adalah kewajaran belaka jika nilai-nilai agama mayoritas penduduk Indonesia yang dijadikan sumber hukum.

Dalam agama Islam definisi anak sangat jelas batasannya. Yakni manusia yang belum mencapai akil baligh (dewasa). Laki-laki disebut dewasa ditandai dengan mimpi basah, sedangkan perempuan dengan menstruasi. Jika tanda-tanda puber tersebut sudah tampak, berapapun usianya maka ia tidak bisa lagi dikategorikan “anak-anak” yang bebas dari pembebanan kewajiban. Justru sejak itulah anak-anak memulai kehidupannya sebagai pribadi yang memilkul tanggung jawab. Termasuk ketika ia telah matang dan memilih untuk menyalurkan kebutuhan bilogisnya dengan pernikahan, maka tidak boleh dilarang.
Pada artikel ke 12 Konvensi Hak Anak disebutkan negara harus menjamin anak yang mampu membentuk pendapatnya sendiri, hak untuk mengutarakan pendapat-pendapat tersebut dengan bebas dalam semua masalah yang mempengaruhi anak itu, pendapat-pendapat anak itu diberi bobot yang semestinya sesuai dengan umur dan kematangan si anak. Hal ini memerlukan penjelasan lebih lanjut tentang pendapat apa yang diutarakan anak. Jika pendapat tersebut sesuai dengan syariah, maka pendapat tersebut harus didukung. Namun jika yang diutakan anak justru pendapat-pendapat yang bertentangan dengan hukum syara’ maka tidak selayaknya pendapat itu didukung bahkan harus dihapus. Orang tua mempunyai kewajiban untuk meluruskan pendapat anak yang salah dengan standar syara’. Dalam konvesnsi tersebut tidak jelas memberi standar yang harus digunakan untuk memberi batasan atas kebebasan anak memngutarakan pendapatnya.
Dalam artikel ke 13 dan 14 Konvensi Hak Anak tersebut disebutkan bahwa anak mempunyai kebebasan berekspresi, hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua macam pemikiran, tanpa memperhatikan perbatasan, baik secara lisan, dalam bentuk tertulis ataupun cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain apa pun pilihan anak. Negara-negara Pihak harus menghormati hak anak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama. Negara-negara Pihak harus menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua, dan apabila berlaku, wali hukum, untuk memberikan pengarahan pada anak dalam melaksanakan haknya dengan cara yang sesuai dengan kemampuan anak yang sedang berkembang. Kebebasan untuk menyatakan agama seseorang atau kepercayaan seseorang, dapat tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan atau kesusilaan atau hak-hak atau kebebasan-kebebasan dasar orang lain.
Jika kita kaji dua pasal tersbut, kebebasan berekspresi yang tanpa batas justru mengarahkan anak untuk berpikir liberal. Terlebih dalam kebebasan beragama. Menjadi kewajiban orang tua untuk mengarahkan pada anak, bahwa Islam adalah agama yang terbaik. Bukan memberi pilihan untuk anak beragama selain Islam.
Solusi dari masalah anak-anak di Indonesia adalah dengan jalan mengembalikan fungsi keluarga sesuai nilai-nilai ajaran moral dan agama. Kedua nilai ini lebih bersifat mapan dan karena negara ini berlandaskan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga sangat wajar nilai-nilai agama menjadi rujukan utama rakyat Indonesia.

Fungsi keluarga akan berjalan dengan baik dimulai dari pembenahan kualitas calon pasangan suami istri, calon ayah dan ibu, dan suami istri. Mereka hendaklah diberikan pembinaan dan pembekalan memadai supaya paham betul hak dan kewajiban sebagai seorang ayah dan ibu terhadap anak. Disamping memahami tangggung jawab mereka dalam melindungi hak-hak anak-anak mereka. Negara khususnya Departemen Agama memfasilitasi segala upaya pengembalian fungsi keluarga terutama ibu pada posisinya semula.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Apa pun masalahnya, solusinya cuma satu: khilafah, begitu? :)

fight for khilafah mengatakan...

yap. pastinya